oleh :
Yoga Gandara
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi
warga negara. Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Oleh karena itu setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Seperti tercantum di dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III
ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan.
Selain itu pengertian
pendidikan dan kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah segala hal yang terkait
dengan warga Negara suatu Negara. Adapun pengertian pendidikan sangat beraneka
ragam. Di masyarakat awam, istilah pendidikan seringkali disamamaknakan dengan
istilah pengajaran dan pembelajaran. Padahal dalam tradisi akademis, ketiga
istilah itu berbeda makna, khusunya perbedaan dalam cakupan.
Pengajaran dan
pembelajaran adalah salah satu saja dari metode pendidikan. Jadi pendidikan
maknanya lebih luas dari pengajaran dan pembelajaran. Di sini pengajaran adalah
proses transfer informasi dari pendidik pada peserta didik untuk memberikan
pengetahuan. Dan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU NO. 20 Tahun 2003
Pasal 1).
Pendidikan yang
berujung pada perubahan sikap dan perilaku yang bersifat emansifatoris seperti
digambarkan di atas adalah pendidikan kritis atau pendidikan yang berparadigma
kritis. Di sini pendidikan kritis memaknai pendidikan sebagai upaya reflektif
kritis terhadap “The dominant ideology” ke arah transformasi sosial. Pendidikan
kritis bukan pendidikan yang mengambil jarak dengan masyarakat (detachment), tetapi yang menyatu dengan
masyarakat dan tidak netral, namun memihak masyarakat, misalnya du’afa dan mustad’afin.
Di Indonesia, istilah
“ilmu”, istilah “ilmu pengetahuan” demikian terbiasa dan umum dipakai, padahal
istilah tersebut dapat dikatakan sebagai “pleonasme” (Suriasumantri, 1988:294;
Gie, 2000: 85) ¾ suatu pemakaian kata yang lebih dari yang diperlukan.
Noorsyam (2006:43) menyatakan bahwa istilah ilmu dapat juga disamakan
dengan pengetahuan karena makna ilmu sesungguhnya ialah tahu dalam makna tahu,
mengerti dan menguasai sesuatu bidang kajian atau bidang pengetahuan.
Suriasumantri mengusulkan penggunaan “ilmu pengetahuan” untuk science dan “pengetahuan” untuk knowledge karena sekarang istilah ini lebih umum
dipakai. Namun, penggunaan istilah ini masih ada kelemahannya.
Dalam konteks bahasa Indonesia, penggunaan istilah ilmu dan pengetahuan
menjadi satu konsep masih relevan dan akrab serta diterima sebagai istilah
akademik yang fungsional. Dalam tulisan ini penulis tidak akan melanjutkan
perdebatan tersebut, sebab pengertian ilmu yang penulis maksudkan lebih
terfokus pada ilmu pendidikan yang komprehensif mencakup ilmu-ilmu kealaman,
sosial, maupun humaniora.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dikemukakan, maka identifikasi masalah dalam makalah ini
yaitu :
1.
Apakah yang
dimaksud dengan Disiplin Ilmu Pendidikan?
2. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Disiplin Ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan umum dari makalah ini
adalah
1. Untuk mengetahui defenisi Disiplin Ilmu Pendidikan
2. Untuk mengetahui defenisi Pendidikan Disiplin Ilmu
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dalam makalah ini adalah untuk
penulis dan pembaca adalah untuk menambah ilmu pengetahuan tentang pendidikan
dan sangat pentingnya pendidikan bagi setiap warganegara, guna memecahkan
permasalahan hidup yang mereka emban.
BAB
II
PEMBAHASAN
DISIPLIN
ILMU PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN DIDIPLIN ILMU
A. Disiplin Ilmu Pendidikan
Pada Tahun 1960 dan
1970, pembahasan yang terkait dengan penemuan ilmu atau logika struktur ilmu,
revolusi ilmu bahkan ilmu sebagai disiplin yang selanjutnya disebut disiplin
ilmu, disiplin intelektual atau disiplin akademik telah menjadi persoalan hangat
pada saat itu. Gagasan awal yang selanjutnya melahirkan istilah pendidikan
sebagai disiplin ilmu, disiplin akademik, atau lebih dikenal dengan disiplin
ilmu pendidikan dikemukakan oleh Belth (1965) dalam tulisannya “Education as a Discipline”. Dari diskusi
tentang disiplin ilmu pendidikan inilah akhirnya memnculkan teori-teori tentang
struktur batang tubuh ilmu pendidikan. Teori-teori epistemologis tersebut
antara lain dikemukakan oleh Bruner (1960 dalam bukunya “The Process of Education”, Kuhn (1962) dalam bukunya “The structure of Scientific Revolution”,
Belth (1965) dalam tulisannya “Education
as a Discipline”, Gardner (1975) dalam tulisannya “The Structure of Science Education. Meskipun tulisan-tulisan
tersebut tidak secara eksplisit membahas batang tubuh ilmu pendidikan tetapi
secara signifikan tulisan tersebut telah memberi kontribusi yang cukup besar
terhadap perkembangan disiplin ilmu pendidikan.
Berdasarkan pemikiran
teoritis yang dikemukakan oleh para pakar diatas, sebuah disiplin akademik atau
disiplin ilmiah haruslah memiliki tubuh pengetahuan (body of knowledge), struktur pengetahuan (structure of knowledge), atau struktur tubuh pengetahuan (structure of body of knowlege).
Bruner (1960), misalnya
memaknai struktur dalam konteks mata pelajaran dalam suatu kurikulum
pendidikan. Ia menyatakan “Grapsing the
structure subject is understanding it in a way that permits many other things
to be related to it meaningfully. to learn structure, in short, is to learn how
things are related”. Istilah keterkaitan (related) antar konsep yang membentuk suatu makna tertentu merupakan
kata kunci penting dalam sebuah struktur.
Pengertian struktur
dari Bruner ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan Gardner (1975).
Dalam konteks pemikiran logika struktur pengetahuan, ia membedakan struktur
atas dua jenis, yakni antara struktur substantif dan struktur sintaksis.
Menurut Gardner, “The substantive
structure is the interrelated collection of powerful ideas that guide research
in a discipline”, sedangkan “syntactical structure is concerned with issues
such as the way in which new substantive concepts are formed, and the ways in
which different kinds of knowledge statement generated by the discipline may be
valudated”.
Kesimpulannya bahwa
suatu struktur seyogyanya mengandung kumpulan gagasan atau konsep yang saling
terkait. Gagasan konseptual atau substansif apakah yang dapat memandu
pengembangan keilmuan suatu disiplin.
Dari berbagai pandangan
para pakar, ada sejumlah unsur pokok sebuah struktur disiplin ilmu, khususnya
disiplin ilmu pendidikan, yakni : (1) landasan, (2) disiplin ilmiah (3) domain,
(4) struktur substantif dan sintaksis. Dalam sebuah struktur disiplin ilmu,
unsur-unsur pokok tersebut merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Namun
dalam tulisan ini, kajian hanya akan difokuskan pada disiplin ilmu pendidikan
yang diawali dengan deskripsi landasan yang mengandung sistem gagasan-gagasan
disiplin ilmu pendidikan.
1. Landasan Disiplin Ilmu Pendidikan
berikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang struktur disiplin ilmu pendidikan.
Landasan-landasan disiplin ilmu pendidikan meliputi: filosofis, ideologis,
sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis, psikologis, dan religius.
a. Landasan Filosofis
Aspek ontologis adalah
Memberikan gagasan pemikiran mendasar yang digunakan untuk menentukan apa obyek
kajian atau domain apa saja yang menjadi kajian pokok dan dimensi pengembangan
disiplin ilmu pendidikan.
Aspek epistemologis
adalah bagaimana cara, proses, atau metode membangun dan mengembangkan disiplin
ilmu hingga menentukan pengetahuan manakah yang dianggap benar, sah, valid,
atau tepercaya
Aspek aksiologis adalah
apa tujuan ilmu pendidikan ini dibangun dan dikembangkan serta digunakan atau apakah
manfaat dari disiplin ilmu pendidikan. Keberadaan landasan-landasan ini telah
dan akan memperkokoh struktur disiplin ilmu untuk eksis dan berkembang luas
lagi.
b. Landasan Ideologis
Dimaksudkan sebagai
sistem gagasan mendasar untuk memberi pertimbangan dan menjawab pertanyaan: (1)
bagaimana keterkaitan antara Das sollen pendidikan,
dan (2) bagaimana keterkaitan antara teori-teori pendidikan dengan hakikat dan
praksis etika, moral, politik, dan norma-norma perilaku dalam membangun dan
mengembangkan ilmu pendidikan. Menurut O’Neil (2001), ideologi sebagai landasan
ini telah dan akan memberikan sistem gagasan yang bersifat ideologis terhadap
ilmu pendidikan yang tidak cukup diatasi hanya oleh filsafat yang bersifat
umum.
c. Landasan Sosiologis
Memberikan sistem
gagasan mendasar untuk menentukan cita-cita, kebutuhan, kepentingan, kekuatan,
aspirasi, serta pola kehidupan masa depan melalui interaksi sosial yang akan
membangun teori-teori atau prinsip-prinsip disiplin ilmu pendidikan. Landasan
ini akan dan telah memberikan dasar-dasar sosiologis terhadap pranata dan
institusi pendidikan dalam proses perubahan sosial yang konstruktif. (Dewey,
1964 Kuhn, 2001)
d. Landasan Antropologis
Memberikan sistem
gagasan-gagasan mendasar dalam menentukan pola, sistem dan struktur disiplin
ilmu pendidikan sehingga relevan dengan pola, sistem dan struktur kebudayaan
bahkan dengan pola, sistem dan struktur perilaku manusia yang kompleks.
Landasan ini telah dan akan memberikan dasar-dasar sosial kultural masyarakat
terhadap struktur disiplin ilmu pendidikan dalam proses perubahan sosial yang
konstruktif. (Pai, 1990)
e. Landasan Kemanusiaan
Memberikan sistem
gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan karakteristik ideal manusia sebagai
sasaran proses pendidikan. Landasan ini sangat penting karena pada dasarnya
proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
f. Landasan Politis
Memberikan sistem
gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan arah dan garis kebijakan dalam
politik pendidikan dari disiplin ilmu pendidikan. Peran dan keterlibatan pihak
pemerintah dalam landasan ini sangat besar sehingga pendidikan tidak mungkin
steril dari campur tangan untuk birokrasi. (Foster, 1985, Freire, 2000).
g. Landasan Psikologis
Memberikan sistem
gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan cara-cara disiplin ilmu pendidikan
membangun struktur tubuh disiplin pengetahuannya baik dalam tataran personal
maupun komunal berdasarkan entitas-entitas psikologisnya. Hal ini sejalan
dengan hakikat dari struktur yang dapat dipelajari, dialami, diversifikasi,
diklasifikasi oleh anggota komunitas disiplin ilmu berdasarkan kapasitas
psikologis dan pengalamannya.
h. Landasan Religius
Memberikan sistem
gagasan-gagasan mendasar tentang nilai-nilai, norma, etika, dan moral yang
menjadi jiwa (ruh) yang melandasi keseluruhan bangunan disiplin ilmu
pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Landasan ini telah berlaku sejak
zaman Plato hingga Kant yang kemudian diakomodasi oleh Brameld (1956) melalui
karya-karyanya khususnya dalam filsafat rekonstruksionisme. Landasan religius
ini telah dan akan menolak segala sesuatu yang relatif (paham relativis),
irasional, dan paham yang mengagungkan rasional semata yang tidak menempatkan
agama sebagai landasan berpikir (intraceptive
knowledge) atau kelompok manusia yang merasa menjadi pemenang dalam
mengembangkan peradaban manusia, intellectus
quaerens fidem (Somantri, 2001).
2. Disiplin Ilmiah
Menurut Kuhn, paradigm
sangat erat dengan normal science. Dalam
konteks normal science inilah, “a paradigm is an accepted model or pattern,
and that aspect of its meaning....”. Dalam pandangan lain, paradigma adalah
contoh-contoh (exemplars) yang dimiliki bersama dan konstelasi komitmen (constellation of commitments) yang
menjadi kerangka berpikir dan cara pandang bagi anggota komunitas keilmuan
tertentu didalam mendekati dan memecahkan masalah serta menjelaskan persoalan
pokok (subject matters) keilmuan
tersebut.
Menurut Kuhn (1962),
istilah normal science merupakan
suatu tradisi atau kebiasaan hasil temuan dan kesepakatan para komunitas
keilmuan yang secara ajek, konsisten, dan berkesinambungan diwariskan sehingga
mereka berupaya memperahankannya.
Dari sejumlah pendapat
tentang keilmuan dan atau disiplin keilmuan di atas, maka dapat diiidentifikasi
bahwa sebuah disiplin ilmiah harus memiliki: (1) paradigma keilmuan (2)
komunitas keilmuan (3) etika atau kode etik keilmuan dan (4) tradisi keilmuan.
Semua unsur yang menjadi syarat sebuah disiplin ilmiah ini pada hakikatnua
tidak berdiri sendiri atau terpisah melainkan saling terkait bahkan menyatu
sebagai suatu sistem yang sinergis.
a. Paradigma keilmuan (scientific paradigm)
Paradigma keilmuan
sebagai suatu contoh, model atau pola berpikir, misalnya, merupakan hasil
kesepakatan dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik dan tradisi
keilmuan. Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogyanya telah
menjadi kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas
keilmuan yang sama. Menurut Gardner (1975), kesamaan kerangka pikir ini sangat
penting untuk mengembangkan keilmuan, yakni (1) dalam menetapkan, menjelaskan,
memprediksi realitas dan memecahkan teka-teki yang ada dalam bidang kajian
keilmuan (2) untuk merumuskan pertanyaan atau masalah (3) memfokuskan data yang
perlu dikumpulkan atau dikaji (4) memilih dan menentukan jenis eksperimen,
praktik, dan upaya keilmuan untuk memperoleh data (5) sebagai cara menafsirkan
dan memaknai data dan (6) merumuskan hukum, dalil, prinsip, teori, konsep, dan
atau fakta ilmiah dari disiplin ilmu (pendidikan).
Paradigma
sebagai keseluruhan konstelasi komitmen kelompok (the Constelation of Group Commitments) ilmuwan tidak lain adalah
“matrik disipliner” (Disiplinary matrix),
kerangka acuan atau teknik manipulasi logis dan matematis yang bersifat
disipliner, mengikat setiap anggota komunitas ilmuwan tertentu dalam melakukan
setiap proses keilmuan untuk memecahkan teka-teki ilmu dan mencari kebenaran
ilmiah. Komitmen yang dimaksudkan di sini adalah komunitas keilmuan untuk
setiap spesialisasi bidang keilmuan dan bukan untuk seluruh komunitas ilmuwan.
Oleh karena itu, paradigma dinyatakan sebagai “paradigma parsial” (partial
paradigm). Dengan demikian, setiap disiplin / spesialisasi ilmu memiliki
paradigma masing-masing. Disamping itu, paradigma yang diakui dan diterima
sebagai komitmen bersama hanya paradigma dari sebuah komunitas keilmuan yang
dianggap telah mantap atau mapan (paradigms
of a mature scientific community) yang memiliki otoritas ilmiah untuk
mengembangkan paradigma (Pejares, 2001)
Matriks
disipliner berfungsi sebagai “hukum” dan “definisi”. Atas dasar itu, Khun
menyatakan bahwa kuat tidaknya sebuah konstruk keilmuan suatu disiplin ilmu,
ditentukan oleh : (1) kuantitas dan kualitas matriks disipliner yang dimiliki
dan tersedia, baik sebagai hukum maupun definisi untuk memecahkan teki-teki
ilmu dan menemukan kebenaran ilmiah dan (2) kekuatan komitmen kelompok terhadap
matriks disipliner sebagai kerangka acuan disipliner yang terdiri dari berbagai
unsur yang terstruktur, dan terspesifikasi menurut disiplin-disiplin keilmuan
masing-masing komunitas.
Ada
empat jenis paradigma menurut gagasan Kuhn (1962) yang tidak mudah
diidentifikasi dalam disiplin ilmu pendidikan:
(1) Paradigma simbolik atau generalisasi simbolik,
yakni generalisasi-generalisasi yang menyimbolkan atau melambangkan sebuah
bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realialitas atau teki-teki
yang dihadapi dalam suatu pola yang bersifat logis dan matematis. Dalam teori
pendidikan, misalnya dikenal generalisasi simbolik belajar merupakan proses
stimulus dan respon (S-R).
(2) Paradigma metafisis, yakni kepercayaan atau
keyakinan kepada model tertentu yang memungkinkan para ilmuwan membuat dan
menggunakan bentuk analogi-analogi atau metafora tentang realitas yang penuh
dengan teki-teki. Fungsi paradigma ini sama seperti paradigma simbolik ialah
sebagai bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realitas atau
teka-teki yang dihadapi. Bedanya paradigma ini lebih berdasarkan pada
kepercayaan dan keyakinan tertentu.
(3) Paradigma sebagai nilai, yakni paradigma yang
didasarkan pada nilai-nilai bersama yang disepakati secara luas oleh seluruh
atau berbagai komunitas disiplin ilmu sebagai kriteria esensial, mendalam dan
mendasar.
(4) “Paradigma sebagai eksemplar, yakni berupa
contoh-contoh bersama tentang “pemecahan masalah nyata” yang dilakukan oleh
seorang ilmuwan, dan “pemecahan masalah teknis” yang ditentukan oleh para
ilmuwan, misalnya berupa jurnal ilmiah.
Merujuk pada jenis
paradigma dari gagasan Kuhn ini, nampaknya tidak mudah untuk menentukan jenis
paradigma tersebut untuk disiplin ilmu pendidikan. Sehingga sejauh perkembangan
idisiplin ilmu pendidikan saat ini,
belum ada klaim yang secara eksplisit menyatakan suatu paradigma sebagai
konstelasi komitmen bersama di kalangan pakar disiplin ilmu pendidikan. Namun
sebagai bentuk kerangka atau sudut pandang yang terbatas, di dalam disiplin
ilmu pendidikan sebenarnya dikenal pula beberapa klasifikasi paradigma yang
berbeda dengan jeis paradigma tersebut meliputi:
(1)
paradigma perilaku (behaviorsm), obyek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur
perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur perilaku lingkungan
terkait dan mengondisikan struktur perilaku siswa. Adapun pokok persoalan yang
harus dikaji adalah hubungan fungsional antara struktur perilaku lingkungan
dengan struktur perilaku siswa sesuai dengan konteksnya.
(2)
paradigma kemanusiaan (humanism), objek kajian disiplin ilmu
pendidikan adalah struktur dunia perseptual atau struktur kebutuhan dan
dorongan dasar alamiah manusia. Struktur dunia perseptual manusia terdiri atas
persepsi, keyakinan, pikiran, perasaan, kebutuhan, konsep diri atau tujuan
pribadi, sedangkan struktur kebutuhan atau dorongan dasar alamiah, antara lain
berupa rasa ingin tahu (sense of
curiosity), hasrat ingin membuktikan secara nyata (sense of interest), dorongan untuk menemukan (sense of discovery), dorongan berpetualang (sense of adventure), dan dorongan menghadapi tantangan (sense of challenge). Adapun persoalan
pokok yang perlu dikaji menurut paradigma kemanusiaan adalah antarhubungan
antara tindakan manusia dengan struktur dunia perseptual dan struktur kebutuhan
dan dorongan dasar alamiah sesuai dengan konteks pendidikan (Huitt, 2001)
(3)
paradigma kognitif, objek kajian
disiplin ilmu pendidikan adalah struktur kognitif atau skema kognitif (scheme atau schemata) yang terdapat di dalam setiap individu. Adapun persoalan
pokok kajian adalah antarhubungan antara struktur kognitif dan pengembangan
kemampuan intelektual individu sesuai dengan konteks pendidikan. Asumsi yang
mendasari paradigma kognitif bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk
berpikir (homo sapiens). Di dalam
dirinya manusia memiliki jiwa intelektual (intelectual
soul) yang mampu menentukan sesuatu yang benar dan membedakan antara yang
baik dari yang buruk.
(4)
paradigma sosial kultural, objek kajian
disiplin ilmu pendidikan adalah struktur sosial dalam kehidupan masyarakat.
Yang dimaksud struktur sosial disini adalah perkembangan masyarkat, budaya
masyarakat (seperti nilai, norma), institusi-institusi masyarakat termasuk
institusi keluarga dan sekolah. Adapun persoalan pokoknya adalah antarhubungan
antara struktur sosial dan perkembangan individu sesuai dengan konteks
pendidikan.
b. Komunitas keilmuan (scientific communities)
Komunitas keilmuan
merupakan sekelompok orang, organisasi, atau institusi yang menyatukan para
ilmuwan, pakar, ahli, praktisi dari suatu disiplin ilmu (the practitioners of a scientific specialty) berdasar pada
paradigma bersama (shared paradigm)
sehingga mereka memiliki pemahaman terhadap kerangka konsep dan cara pandang
bersama.
Dalam
konteks Indonesia, komunitas keilmuan bidang pendidikan meliputi berbagai
lapisan dan memiliki struktur atau jaringan yang luas. Ada yang saling tumpang
tindih (overlapping), ada yang
mandiri. Lapisan komunitas keilmuan yang beragam tersebut antara lain : (1)
akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di perguruan tinggi
baik di tingkat Jurusan, Fakultas, maupun Pascasarjana, (2) akademisi,
peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di lembaga Konsorsium Ilmu
Pendidikan (3) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di
pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu, teknologi dan seni (seperti,
balitbang diknas, pusat kurikulum, pustekkom) (4) akademisi, peneleiti,
pengembang, dan praktisi yang berada di organisasi ilmuwan dan profesi
pendidikan, seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Sosial (ISPS), Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu Sosial (HISPISI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
dan banyak lagi jenis yang lain baik
yang bersifat independen maupun yang ada di bawah naungan pemerintah.
c. Etika atau kode etik keilmuan
Etika atau kode etik
keilmuaan merupakan pedoman, acuan, standar yang dapat berupa sejumlah nilai,
norma, atau kaidah keilmuan mengenai sikap dan perlaku yang dipandang layak,
pantas, baik, jujur dan benar secara etis serta diakui, dijunjung tinggi,
disepakati oleh setiap anggota komunitas keilmuan dalam setiap upaya, karya,
dan ikhtiar keilmuan.
Di Indonesia, masalah
etika atau kode etik keilmuan mulai dirasakan pentingnya namun belum banyaka
komunitas keilmuan yang memilikinya. Hasil kajian dari sejumlah dokumen
perguruan tinggi dan HAKI diidentifikasi ada enam aspek tentang etika atau kode
etik keilmuan sebagai berikut:
1)
Etika atau kode etik keilmuan tentang
kebebasan akademik, meliputi kebebasan mimbar dan otonomi keilmuan, seperti
seminar, ceramah, simposium, diskusi panel, konferensi, dan kegiatan akademik
lainnya (PP. NO. 60, Pasal 17-18)
2)
Etika atau kode etik dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawab seperti melaksanakan kegiatan pembelajaran,
melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, mengomunikasikan
hasil temuan penelitian atau memublikasikan karya ilmiah serta mengembangkan
bidang disiplin ilmu pendidikan bisezerdasarkan norma dan kaidah keilmuan yang
disepakati anggota komunitas keilmuan.
3)
Etika tau kode etik untuk penggunaan,
pengambilan, dan pengumuman dan/ atau perbanyakan sebagian atau keseluruhan
dari karya-karya cipta keilmuan, dengan keharusan untuk menyebutkan sumbernya
secara lengkap, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dan atau ceramah
yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan (UU NO.19/2002,
Pasal 15). Karya-karya cipta keilmuan tersebut meliputi: buku, karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, alat peraga
(Pasal 12).
4)
Etika atau kode etik untuk penerjemah
dan perbanyakan karya-karya keilmuan oleh orang atau pihak lain. Penerjemah
bisa dilakukan atas inisiatif orang atau pihak lain itu sendiri atau Menteri
dapat mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri, memberi izin
atau menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan,
atas dasar pertimbngan Dewan Hak Cipta, dalam hal karya tersebut untuk
kepentingan pendidikan ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan
pengembangan, terhadap ciptaan-ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan (Pasal
16:1)
5)
Etika atau kode etik tentang tempat
penerjemahan, perbanyakan, dan pemakaiannya. Penerjemah baik dilakukan sendiri
oleh pencipta maupun oleh orang atau pihak lain atas izin pencipta atau karena
diwjibkan oleh pemeintah juga penggunaan atau pemakaian karya-karya hasil
terjemahan dan perbanyakannya tersebut, hanya berlaku di dalam wilayah
Indonesia (UU No.19/2002, Pasal 16:1-4)
6)
Etika atau kode etik tentang penerimaan
dan penggunaan gelar akadmik oleh seorang ilmuwan (Sarjana, Magister, Doktor)
dari perguruan tinggi yang memiliki hak dan wewenang untuk menyelenggarakan
pendidikan akademik sesuai dengan bidang keahliannya. Penerimaan dan penggunaan
gelar akademik tersebut juga baru boleh dilakukan setelah mereka dianggap telah
mengikuti dan menyelesaikan semua kewajiban san/ atau tugas yang dibebankan,
dan telah dinyatakan lulus dari perguruan tinngi yang menyelenggarakan
akademik.
Dari uraian di atas,
jelas bahwa seorang ilmuwan berkarya dan berikhtiar bukan semata-mata untuk
mencapai kebenaran empiris dan logis melainkan juga harus mencapai kebenaran
etis.
d. Tradisi keilmuan
Tradisi keilmuan
(scientific tradition) merupakan suatu kebiasaan sebagai prestasi keilmuwan
warisan suatu generasi komunitas keilmuwan sebelumnya yang sah, sistematis,
dimodifikasi, diakui, dijunjung tinggi dan dipraktikkan oleh seluruh komunitas
keilmuwan yang berlaku dalam disiplin ilmu tertentu. Menurut Kuhn (1962),
tradisi keilmuan yang bersifat ajeg, stabil, konsisten dan berkesinambungan
hasil kesepakatan komunitas keilmuan ini disebut normal science. Tradisi keilmuan dibangun dan dikembangkan oleh
sejumlah aspek seperti eksemplar-eksemplar, norma-norma, asumsi-asumsi,
pedoman-pedoman, simbol-simbol, metode ilmiah serta paradigma yang telah
disepakati dan dipraktikkan sehingga menjadi kebiasaan bagi seluruh anggota
komunitas keilmuan.
Tradisi keilmuan
dibedakan atas dua jenis, yakni (1) tradisi pokok merupakan tradisi-tradisi
utama dan umum yang berlaku untuk seluruh komunitas keilmuan dan (2) tradisi
sekunder atau teknis (Shils, 1981:14) merupakan tradisi-tradisi keilmuan yang
berkaitan dengan teknik atau cara tertentu untuk memandang, mendekati realitas
atau fenomena atau obyek serta teka-teki yang ada dan hanya berlaku untuk
disiplin ilmu tertentu.
B. Pendidikan Disiplin Ilmu
Istilah pendidikan
disiplin ilmu merupakan istilah yang belum banyak dikenal bahkan dirasakan
asing bagi kalangan komunitas keilmuan dalam disiplin tradisional. Di
Indonesia, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Nu’man Somantri dalam
berbagai karya tulis untuk merespon berbagai tuntutan masyarakat akademik dalam mengonstruksi sistem pendidikan bagi
pencapaian tujuan dan program pendidikan khususnya untuk tingkat pendidikan
dasar dan menengah (Somantri, 2001:19).
Pendidikan disiplin
ilmu lahir sebagi suatu pemikiran untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasioanal
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pendidikan disiplin ilmu adalah suatu batang tubuh
disiplin (baru) yang menyeleksi konsep, generalisasi, dan teori dari struktur
disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu Pendidikan yang
diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan. (Somantri, 2001: 28). Apabila pendidikan disiplin ilmu ingin
berkembang sebagaimana disiplin ilmu tradisional sehingga menjadi normal science maka ia harus memenuhi
syarat sebagaimana ditentukan diatas, misalnya
1.
Paradigma keilmuan yang disepakati
bersama oleh komunitas keilmuan
2.
Komunitas keilmuan (a community of scholars)
3.
Tradisi keilmuan yang disepakati dan
dipraktikkan oleh anggota komunitas keilmuan
Anggota komunitas
pendidikan disiplin ilmu sebenarya mengemban tugas yang tidak mudah. Karena
kedudukan Pendidikan Disiplin Ilmu berada dalam posisi middle studies atau synthetic
discipline, diantara arsiran Disiplin Ilmu Pendidikan, Disiplin Ilmu
Pengetahuan, Dimensi Agama, Pancasila, dan Pendidikan Umum terutama pengetahuan
fungsional, dan kegiatan dasar manusia (Somantri, 2001:21), maka tanggung jawab
komunitaas keilmuan antardisiplin lebih besar daripada komunitas keilmuan
monodisiplin. Oleh karena itu, perkembangan akademik Pendidikan Disiplin Ilmu
dirasakan sanagat lambat, karena semangat ilmiah dari masyarakat ilmiahnya itu
sendiri dirasakan masih kurang (Somantri, 2001:7). Lemahnya semangat ini
mengakibatkan tingkat pemahaman dan persepsi di antara komunitas keilmuan
bervariasi bahkan tidak sedikit yang tidak paham apa pendidikan ilmu itu.
Secara Substantif,
seperti diuraikan diatas, Pendidikan Disiplin Ilmu sebagai middle studies sedikitnya berdiri tiga kaki, yakni Disiplin Ilmu
Pendidikan, Disiplin Ilmu Pengetahuan, dan Pengetahuan Fungsional.
BAB
III
ANALISIS
Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai disiplin ilmu, hal pertama yang perlu disepakati adalah paradigma
keilmuan. Dalam bukunya yang cukup monumental dan banyak mempengaruhi
perkembangan ilmu, The
Structure of Scientific Revolution, Kuhn (1996) mengajukan suatu konsep
kunci dalam epistemologi keilmuan yang disebut paradigma (paradigm).
Dalam karyanya itu, Kuhn tidak memberikan pengertian tunggal tentang konsep
paradigma sehingga konsep tersebut ditafsirkan dan digunakan secara beragam
oleh para akademisi dalam menganalisis suatu masalah (Farisi, 2005). Menurut
Kuhn, paradigm sangat erat dengan normal science. Dalam konteks normal science inilah, paradigma adalah “some
accepted examples
of actual scientific practice-examples which include law, theory, application,
and instrumentation together-provide models…” (Kuhn,1996:10). Selain
berarti contoh-contoh (exemplars) yang dimiliki bersama oleh komunitas
akademik, paradigma berarti konstelasi komitmen (constellation of
commitments) yang menjadi kerangka berpikir dan cara pandang bagi anggota
komunitas keilmuan tertentu didalam mendekati dan memecahkan masalah serta menjelaskan
persoalan pokok (subject matters) keilmuan tersebut (Farisi, 2005).
Menurut Kuhn (1996), istilah normal science merupakan suatu tradisi atau kebiasaan
hasil temuan dan kesepakatan para komunitas keilmuan yang secara ajeg,
konsisten, dan berkesinambungan diwariskan sehingga mereka berupaya
mempertahankannya. Tradisi keilmuan merupakan warisan prestasi keilmuan
yang sah dan dicapai oleh para ilmuwan kemudian disistimatisasi, dikodifikasi,
dijunjung tinggi dan dijadikan acuan membangun dan mengembangkan keilmuan
secara berkelanjutan (Farisi, 2005). Dengan kata lain, normal science menjadi paradigma yang relatif stabil.
Dalam tulisannya The Structure of Science Education,
Gardner (1975) menyatakan bahwa disiplin ilmu memiliki realitas. Ia
mengidentifikasi disiplin ilmu, “consist of identifiable groups of people
who work together, meet each other at conferences, travel to each others’
laboratories, correspond with each other, write journal articles for each
other, and decide who, and which ideas, they are prepared to admit to the club”.
Bila dimaknai, maka disiplin ilmu
terdiri atas: (1) sekelompok orang yang bekerja bersama-sama; (2) saling
bertemu dalam konferensi; (3) saling mengunjungi laboratorium; (4) saling
berkorespondensi; (5) saling menulis artikel jurnal; dan (6) mengambil
keputusan tentang gagasan siapa yang disepakati oleh kelompok keilmuan
tersebut.
Sedangkan Dufty (1970:154),
mengemukakan unsur-unsur disiplin ilmu sebagai berikut:
(1) a community of scholars who choose to call
themselves by a particular name; (2) a
body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which
consists of facts, concepts, generalizations and theories; dan (3) a method of approach to knowledge,
i.e. process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge.
Bila dimaknai, maka unsur disiplin ilmu menurut Dufty ini meliputi: (1)
komunitas ahli yang memberi namanya tertentu; (2) majelis berpikir, berbicara,
dan menulis tentang fakta, konsep, generalisasi, dan teori; (3) metode
pendekatan ilmu pengetahuan, seperti bagaimana proses para ahli memperoleh,
mengelola, dan menggunakan pengetahuannya. Dari sejumlah pendapat tentang teori
keilmuan dan/atau disiplin keilmuan di atas, maka dapat diidentifikasi bahwa
sebuah disiplin ilmiah dalam ketegori normal
science harus memiliki: (1)
paradigma keilmuan; (2) komunitas keilmuan; (3) etika pengakuan gagasan atau
kode etik keilmuan; dan (4) tradisi keilmuan. Semua unsur yang menjadi
syarat sebuah disiplin ilmiah ini pada hakikatnya tidak berdiri sendiri atau
terpisah-pisah melainkan saling terkait bahkan menyatu sebagai suatu sistem
yang sinergis. Empat unsur yang menjadi syarat disiplin ilmu
masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dilihat dari posisinya, PKn
sangat erat dan dekat dengan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS).
Secara filosofis, posisi PKn dalam konteks filsafat pendidikan disiplin
ilmu dan/ atau pendidikan IPS memiliki kemiripan karena sama-sama sebagai pendidikan
disiplin ilmu dan/atau disiplin ilmu terintegrasi. Sebagai disiplin ilmu
yang sedang berkembang, PKn memerlukan filsafat yang dapat dijadikan rujukan
atau panduan/pedoman bagi komunitas keilmuan PKn dalam mengembangkan disiplin
ilmu ini melalui penelitian. Dilihat dari kedudukannya, filsafat PKn yang dapat
dikembangkan merupakan bagian dari filsafat pendidikan disiplin ilmu disamping
filsafat pendidikan Geografi, filsafat pendidikan Sejarah, filsafat pendidikan
Ekonomi, filsafat pendidikan Sosiologi, dan filsafat PIPS lainnya.
Filsafat PIPS merupakan integrasi (eklektik) dari dua kajian filsafat, yakni
Filsafat Pendidikan dan Filsafat Ilmu-Ilmu Sosial. Filsafat PKn
sebagaimana filsafat pendidikan disiplin ilmu dipengaruhi oleh faham filsafat ilmu,
filsafat pendidikan, dan filsafat ilmu-ilmu sosial baik dalam kajian ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis. Secara ontologis, pengaruh filsafat
ilmu-ilmu sosial yang paling kuat berasal dari dua disiplin, yakni ilmu politik
dan hukum.
Untuk mengkaji PKn dengan
pendekatan filsafat pendidikan yang sejalan dengan tuntutan kehidupan berbangsa
dan bernegara saat ini seyogianya bertolak dari suatu kontinum Progressivism-Reconstructionism karena
filsafat ini menganggap bahwa “Education is conceived by them primarily as
an agent of cultural change, modification, or rebuilding” (Brameld,
1956:32). Meskipun demikian, kontinumEssentialism-Perennialism tetap
memberikan andil terhadap kajian filsafat PKn, karena filsafat ini
menganggap “education as cultural transmission, reinforcement, or
conservation.” Melakukan konseptualisasi PKn dengan pendekatan
filosofis tidak mungkin bertolak dari kondisi saat ini dengan mengabaikan
dan/atau tanpa mempertimbangkan hasil pengalaman masa terdahulu atau hasil
pikir dan peradaban terbaik dari masa lampau. Rekonstruksi PKn
dikonsepsikan sebagai upaya transmisi, penguatan atau konservasi disamping
sebagai transformasi, agen perubahan, modifikasi, atau pembangunan
kembali budaya kewarganegaraan
BAB
IV
KESIMPULAN
1.
Sebuah disiplin akademik atau disiplin
ilmiah haruslah memiliki tubuh pengetahuan (body
of knowledge), struktur pengetahuan (structure
of body of knowledge). Ada sejumlah unsur pokok sebuah struktur disiplin
ilmu khususnya disiplin ilmu pendidikan, yakni: (1) landasan, (2) Disiplin
ilmiah (3) domain (4) struktur substantif dan sintaksis. Dalam sebuah struktur
disiplin ilmu, unsur-unsur pokok tersebut merupakan satu kesatuan yang saling
terkait. Ilmu pendidikan sebagai sebuah disiplin hendaknya memilih landasan
yang memberikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang struktur disiplin ilmu
pendidikan. Bagaimana dan mengapa struktur disiplin ilmu tersebut dibangun dan
dikembangkan serta ke mana arah, tujuan dan sasaran pengembangan dilakukan oleh
masyarakat ilmiahnya. Landasan-landasan disiplin ilmu pendidikan meliputi:
filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis,
psikologis, dan religius.
2.
Sebuah disiplin ilmiah harus memiliki:
(1) paradigma keilmuan, (2) komunitas keilmuan, (3) etika atau kode etik
keilmuan dan (4) tradisi keilmuan. Semua unsur yang menjadi syarat sebuah
disiplin ilmiah ini pada hakikatnya tidak berdiri sendiri atau terpisah
melainkan saling terkait bahkan menyatu sebagai suatu sistem yang sinergis. Istilah
pendidikan disiplin ilmu dapat diidentifikasi dalam kajian keilmuan dan
pembelajaran, seperti istilah Science
Education, Social Education, Social Studies, Social Science Education, Social
Studies Education, Studies of Society and Environment, dan istilah lainnya
yang memiliki karakteristik sebagai suatu synthetic
discipline. Pendidikan disiplin ilmu bersifat synthetic discipline antara disiplin ilmu (murni atau non
kependidikan) dan ilmu pendidikan dengan pendekatan ilmiah (scientifically) dan psikologis (psychologically) dengan mengacu pada
tujuan pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Brameld, Theodore. (1955). Philosophies Of Education In Cultural Pers. New
York: Holt, Rinehart And Winston.
Gardner, P.L (1975). The Structure Of Science Education. Hawthorn
Victoria: Longman.
Kuhn. T.S (1962). The Structure Of Scientific Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Keilmuan.
Alih Bahasa Tjun surzaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Somantri, Nu’man. (2001). Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS.
Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remaja
Rosdakarya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar