Rabu, 21 Februari 2018

Disiplin Ilmu Pendidikan Dan Pendidikan Disiplin Ilmu

                                                                       oleh : 
                                                              Yoga Gandara

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh karena itu setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tercantum di dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selain itu pengertian pendidikan dan kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah segala hal yang terkait dengan warga Negara suatu Negara. Adapun pengertian pendidikan sangat beraneka ragam. Di masyarakat awam, istilah pendidikan seringkali disamamaknakan dengan istilah pengajaran dan pembelajaran. Padahal dalam tradisi akademis, ketiga istilah itu berbeda makna, khusunya perbedaan dalam cakupan.
Pengajaran dan pembelajaran adalah salah satu saja dari metode pendidikan. Jadi pendidikan maknanya lebih luas dari pengajaran dan pembelajaran. Di sini pengajaran adalah proses transfer informasi dari pendidik pada peserta didik untuk memberikan pengetahuan. Dan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU NO. 20 Tahun 2003 Pasal 1).
Pendidikan yang berujung pada perubahan sikap dan perilaku yang bersifat emansifatoris seperti digambarkan di atas adalah pendidikan kritis atau pendidikan yang berparadigma kritis. Di sini pendidikan kritis memaknai pendidikan sebagai upaya reflektif kritis terhadap “The dominant ideology” ke arah transformasi sosial. Pendidikan kritis bukan pendidikan yang mengambil jarak dengan masyarakat (detachment), tetapi yang menyatu dengan masyarakat dan tidak netral, namun memihak masyarakat, misalnya du’afa dan mustad’afin.
Di Indonesia,  istilah “ilmu”, istilah “ilmu pengetahuan” demikian terbiasa dan umum dipakai, padahal istilah tersebut dapat dikatakan sebagai “pleonasme” (Suriasumantri, 1988:294; Gie, 2000: 85) ¾ suatu pemakaian kata yang lebih dari yang diperlukan.  Noorsyam (2006:43) menyatakan bahwa istilah ilmu dapat juga disamakan dengan pengetahuan karena makna ilmu sesungguhnya ialah tahu dalam makna tahu, mengerti dan menguasai sesuatu bidang kajian atau bidang pengetahuan. Suriasumantri mengusulkan penggunaan “ilmu pengetahuan” untuk science dan “pengetahuan” untuk knowledge karena sekarang istilah ini lebih umum dipakai.  Namun, penggunaan istilah ini masih ada kelemahannya.  Dalam  konteks bahasa Indonesia, penggunaan istilah ilmu dan pengetahuan menjadi satu konsep masih relevan dan akrab serta diterima sebagai istilah akademik yang fungsional. Dalam tulisan ini penulis tidak akan melanjutkan perdebatan tersebut, sebab pengertian ilmu yang penulis maksudkan lebih terfokus pada ilmu pendidikan yang komprehensif mencakup ilmu-ilmu kealaman, sosial, maupun humaniora.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka identifikasi masalah dalam makalah ini yaitu :
1.    Apakah yang dimaksud dengan Disiplin Ilmu Pendidikan?
2.    Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Disiplin Ilmu?
C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan umum dari makalah ini adalah
1.    Untuk mengetahui defenisi Disiplin Ilmu Pendidikan
2.    Untuk mengetahui defenisi Pendidikan Disiplin Ilmu

D.      Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dalam makalah ini adalah untuk penulis dan pembaca adalah untuk menambah ilmu pengetahuan tentang pendidikan dan sangat pentingnya pendidikan bagi setiap warganegara, guna memecahkan permasalahan hidup yang mereka emban.


BAB II
PEMBAHASAN
DISIPLIN ILMU PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN DIDIPLIN ILMU


A.  Disiplin Ilmu Pendidikan
Pada Tahun 1960 dan 1970, pembahasan yang terkait dengan penemuan ilmu atau logika struktur ilmu, revolusi ilmu bahkan ilmu sebagai disiplin yang selanjutnya disebut disiplin ilmu, disiplin intelektual atau disiplin akademik telah menjadi persoalan hangat pada saat itu. Gagasan awal yang selanjutnya melahirkan istilah pendidikan sebagai disiplin ilmu, disiplin akademik, atau lebih dikenal dengan disiplin ilmu pendidikan dikemukakan oleh Belth (1965) dalam tulisannya “Education as a Discipline”. Dari diskusi tentang disiplin ilmu pendidikan inilah akhirnya memnculkan teori-teori tentang struktur batang tubuh ilmu pendidikan. Teori-teori epistemologis tersebut antara lain dikemukakan oleh Bruner (1960 dalam bukunya “The Process of Education”, Kuhn (1962) dalam bukunya “The structure of Scientific Revolution”, Belth (1965) dalam tulisannya “Education as a Discipline”, Gardner (1975) dalam tulisannya “The Structure of Science Education. Meskipun tulisan-tulisan tersebut tidak secara eksplisit membahas batang tubuh ilmu pendidikan tetapi secara signifikan tulisan tersebut telah memberi kontribusi yang cukup besar terhadap perkembangan disiplin ilmu pendidikan.
Berdasarkan pemikiran teoritis yang dikemukakan oleh para pakar diatas, sebuah disiplin akademik atau disiplin ilmiah haruslah memiliki tubuh pengetahuan (body of knowledge), struktur pengetahuan (structure of knowledge), atau struktur tubuh pengetahuan (structure of body of knowlege).
Bruner (1960), misalnya memaknai struktur dalam konteks mata pelajaran dalam suatu kurikulum pendidikan. Ia menyatakan “Grapsing the structure subject is understanding it in a way that permits many other things to be related to it meaningfully. to learn structure, in short, is to learn how things are related”. Istilah keterkaitan (related) antar konsep yang membentuk suatu makna tertentu merupakan kata kunci penting dalam sebuah struktur.
Pengertian struktur dari Bruner ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan Gardner (1975). Dalam konteks pemikiran logika struktur pengetahuan, ia membedakan struktur atas dua jenis, yakni antara struktur substantif dan struktur sintaksis. Menurut Gardner, “The substantive structure is the interrelated collection of powerful ideas that guide research in a discipline”, sedangkan “syntactical structure is concerned with issues such as the way in which new substantive concepts are formed, and the ways in which different kinds of knowledge statement generated by the discipline may be valudated”.
Kesimpulannya bahwa suatu struktur seyogyanya mengandung kumpulan gagasan atau konsep yang saling terkait. Gagasan konseptual atau substansif apakah yang dapat memandu pengembangan keilmuan suatu disiplin.
Dari berbagai pandangan para pakar, ada sejumlah unsur pokok sebuah struktur disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu pendidikan, yakni : (1) landasan, (2) disiplin ilmiah (3) domain, (4) struktur substantif dan sintaksis. Dalam sebuah struktur disiplin ilmu, unsur-unsur pokok tersebut merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Namun dalam tulisan ini, kajian hanya akan difokuskan pada disiplin ilmu pendidikan yang diawali dengan deskripsi landasan yang mengandung sistem gagasan-gagasan disiplin ilmu pendidikan.
1.    Landasan Disiplin Ilmu Pendidikan berikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang struktur disiplin ilmu pendidikan. Landasan-landasan disiplin ilmu pendidikan meliputi: filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis, psikologis, dan religius.
a.      Landasan Filosofis
Aspek ontologis adalah Memberikan gagasan pemikiran mendasar yang digunakan untuk menentukan apa obyek kajian atau domain apa saja yang menjadi kajian pokok dan dimensi pengembangan disiplin ilmu pendidikan.
Aspek epistemologis adalah bagaimana cara, proses, atau metode membangun dan mengembangkan disiplin ilmu hingga menentukan pengetahuan manakah yang dianggap benar, sah, valid, atau tepercaya
Aspek aksiologis adalah apa tujuan ilmu pendidikan ini dibangun dan dikembangkan serta digunakan atau apakah manfaat dari disiplin ilmu pendidikan. Keberadaan landasan-landasan ini telah dan akan memperkokoh struktur disiplin ilmu untuk eksis dan berkembang luas lagi.
b.      Landasan Ideologis
Dimaksudkan sebagai sistem gagasan mendasar untuk memberi pertimbangan dan menjawab pertanyaan: (1) bagaimana keterkaitan antara Das sollen pendidikan, dan (2) bagaimana keterkaitan antara teori-teori pendidikan dengan hakikat dan praksis etika, moral, politik, dan norma-norma perilaku dalam membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan. Menurut O’Neil (2001), ideologi sebagai landasan ini telah dan akan memberikan sistem gagasan yang bersifat ideologis terhadap ilmu pendidikan yang tidak cukup diatasi hanya oleh filsafat yang bersifat umum.
c.       Landasan Sosiologis
Memberikan sistem gagasan mendasar untuk menentukan cita-cita, kebutuhan, kepentingan, kekuatan, aspirasi, serta pola kehidupan masa depan melalui interaksi sosial yang akan membangun teori-teori atau prinsip-prinsip disiplin ilmu pendidikan. Landasan ini akan dan telah memberikan dasar-dasar sosiologis terhadap pranata dan institusi pendidikan dalam proses perubahan sosial yang konstruktif. (Dewey, 1964 Kuhn, 2001)
d.      Landasan Antropologis
Memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar dalam menentukan pola, sistem dan struktur disiplin ilmu pendidikan sehingga relevan dengan pola, sistem dan struktur kebudayaan bahkan dengan pola, sistem dan struktur perilaku manusia yang kompleks. Landasan ini telah dan akan memberikan dasar-dasar sosial kultural masyarakat terhadap struktur disiplin ilmu pendidikan dalam proses perubahan sosial yang konstruktif. (Pai, 1990)
e.       Landasan Kemanusiaan
Memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan karakteristik ideal manusia sebagai sasaran proses pendidikan. Landasan ini sangat penting karena pada dasarnya proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
f.       Landasan Politis
Memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan arah dan garis kebijakan dalam politik pendidikan dari disiplin ilmu pendidikan. Peran dan keterlibatan pihak pemerintah dalam landasan ini sangat besar sehingga pendidikan tidak mungkin steril dari campur tangan untuk birokrasi. (Foster, 1985, Freire, 2000).
g.      Landasan Psikologis
Memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan cara-cara disiplin ilmu pendidikan membangun struktur tubuh disiplin pengetahuannya baik dalam tataran personal maupun komunal berdasarkan entitas-entitas psikologisnya. Hal ini sejalan dengan hakikat dari struktur yang dapat dipelajari, dialami, diversifikasi, diklasifikasi oleh anggota komunitas disiplin ilmu berdasarkan kapasitas psikologis dan pengalamannya.
h.      Landasan Religius
Memberikan sistem gagasan-gagasan mendasar tentang nilai-nilai, norma, etika, dan moral yang menjadi jiwa (ruh) yang melandasi keseluruhan bangunan disiplin ilmu pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Landasan ini telah berlaku sejak zaman Plato hingga Kant yang kemudian diakomodasi oleh Brameld (1956) melalui karya-karyanya khususnya dalam filsafat rekonstruksionisme. Landasan religius ini telah dan akan menolak segala sesuatu yang relatif (paham relativis), irasional, dan paham yang mengagungkan rasional semata yang tidak menempatkan agama sebagai landasan berpikir (intraceptive knowledge) atau kelompok manusia yang merasa menjadi pemenang dalam mengembangkan peradaban manusia, intellectus quaerens fidem (Somantri, 2001).

2.    Disiplin Ilmiah
Menurut Kuhn, paradigm sangat erat dengan normal science. Dalam konteks normal science inilah, “a paradigm is an accepted model or pattern, and that aspect of its meaning....”. Dalam pandangan lain, paradigma adalah contoh-contoh (exemplars) yang dimiliki bersama dan konstelasi komitmen (constellation of commitments) yang menjadi kerangka berpikir dan cara pandang bagi anggota komunitas keilmuan tertentu didalam mendekati dan memecahkan masalah serta menjelaskan persoalan pokok (subject matters) keilmuan tersebut.
Menurut Kuhn (1962), istilah normal science merupakan suatu tradisi atau kebiasaan hasil temuan dan kesepakatan para komunitas keilmuan yang secara ajek, konsisten, dan berkesinambungan diwariskan sehingga mereka berupaya memperahankannya.
Dari sejumlah pendapat tentang keilmuan dan atau disiplin keilmuan di atas, maka dapat diiidentifikasi bahwa sebuah disiplin ilmiah harus memiliki: (1) paradigma keilmuan (2) komunitas keilmuan (3) etika atau kode etik keilmuan dan (4) tradisi keilmuan. Semua unsur yang menjadi syarat sebuah disiplin ilmiah ini pada hakikatnua tidak berdiri sendiri atau terpisah melainkan saling terkait bahkan menyatu sebagai suatu sistem yang sinergis.
a.    Paradigma keilmuan (scientific paradigm)
Paradigma keilmuan sebagai suatu contoh, model atau pola berpikir, misalnya, merupakan hasil kesepakatan dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik dan tradisi keilmuan. Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogyanya telah menjadi kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas keilmuan yang sama. Menurut Gardner (1975), kesamaan kerangka pikir ini sangat penting untuk mengembangkan keilmuan, yakni (1) dalam menetapkan, menjelaskan, memprediksi realitas dan memecahkan teka-teki yang ada dalam bidang kajian keilmuan (2) untuk merumuskan pertanyaan atau masalah (3) memfokuskan data yang perlu dikumpulkan atau dikaji (4) memilih dan menentukan jenis eksperimen, praktik, dan upaya keilmuan untuk memperoleh data (5) sebagai cara menafsirkan dan memaknai data dan (6) merumuskan hukum, dalil, prinsip, teori, konsep, dan atau fakta ilmiah dari disiplin ilmu (pendidikan).
            Paradigma sebagai keseluruhan konstelasi komitmen kelompok (the Constelation of Group Commitments) ilmuwan tidak lain adalah “matrik disipliner” (Disiplinary matrix), kerangka acuan atau teknik manipulasi logis dan matematis yang bersifat disipliner, mengikat setiap anggota komunitas ilmuwan tertentu dalam melakukan setiap proses keilmuan untuk memecahkan teka-teki ilmu dan mencari kebenaran ilmiah. Komitmen yang dimaksudkan di sini adalah komunitas keilmuan untuk setiap spesialisasi bidang keilmuan dan bukan untuk seluruh komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, paradigma dinyatakan sebagai “paradigma parsial” (partial paradigm). Dengan demikian, setiap disiplin / spesialisasi ilmu memiliki paradigma masing-masing. Disamping itu, paradigma yang diakui dan diterima sebagai komitmen bersama hanya paradigma dari sebuah komunitas keilmuan yang dianggap telah mantap atau mapan (paradigms of a mature scientific community) yang memiliki otoritas ilmiah untuk mengembangkan paradigma (Pejares, 2001)
            Matriks disipliner berfungsi sebagai “hukum” dan “definisi”. Atas dasar itu, Khun menyatakan bahwa kuat tidaknya sebuah konstruk keilmuan suatu disiplin ilmu, ditentukan oleh : (1) kuantitas dan kualitas matriks disipliner yang dimiliki dan tersedia, baik sebagai hukum maupun definisi untuk memecahkan teki-teki ilmu dan menemukan kebenaran ilmiah dan (2) kekuatan komitmen kelompok terhadap matriks disipliner sebagai kerangka acuan disipliner yang terdiri dari berbagai unsur yang terstruktur, dan terspesifikasi menurut disiplin-disiplin keilmuan masing-masing komunitas.
            Ada empat jenis paradigma menurut gagasan Kuhn (1962) yang tidak mudah diidentifikasi dalam disiplin ilmu pendidikan:
(1)  Paradigma simbolik atau generalisasi simbolik, yakni generalisasi-generalisasi yang menyimbolkan atau melambangkan sebuah bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realialitas atau teki-teki yang dihadapi dalam suatu pola yang bersifat logis dan matematis. Dalam teori pendidikan, misalnya dikenal generalisasi simbolik belajar merupakan proses stimulus dan respon (S-R).
(2)  Paradigma metafisis, yakni kepercayaan atau keyakinan kepada model tertentu yang memungkinkan para ilmuwan membuat dan menggunakan bentuk analogi-analogi atau metafora tentang realitas yang penuh dengan teki-teki. Fungsi paradigma ini sama seperti paradigma simbolik ialah sebagai bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realitas atau teka-teki yang dihadapi. Bedanya paradigma ini lebih berdasarkan pada kepercayaan dan keyakinan tertentu.
(3)  Paradigma sebagai nilai, yakni paradigma yang didasarkan pada nilai-nilai bersama yang disepakati secara luas oleh seluruh atau berbagai komunitas disiplin ilmu sebagai kriteria esensial, mendalam dan mendasar.
(4)  “Paradigma sebagai eksemplar, yakni berupa contoh-contoh bersama tentang “pemecahan masalah nyata” yang dilakukan oleh seorang ilmuwan, dan “pemecahan masalah teknis” yang ditentukan oleh para ilmuwan, misalnya berupa jurnal ilmiah.
Merujuk pada jenis paradigma dari gagasan Kuhn ini, nampaknya tidak mudah untuk menentukan jenis paradigma tersebut untuk disiplin ilmu pendidikan. Sehingga sejauh perkembangan  idisiplin ilmu pendidikan saat ini, belum ada klaim yang secara eksplisit menyatakan suatu paradigma sebagai konstelasi komitmen bersama di kalangan pakar disiplin ilmu pendidikan. Namun sebagai bentuk kerangka atau sudut pandang yang terbatas, di dalam disiplin ilmu pendidikan sebenarnya dikenal pula beberapa klasifikasi paradigma yang berbeda dengan jeis paradigma tersebut meliputi:
(1)     paradigma perilaku (behaviorsm), obyek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur perilaku siswa. Adapun pokok persoalan yang harus dikaji adalah hubungan fungsional antara struktur perilaku lingkungan dengan struktur perilaku siswa sesuai dengan konteksnya.
(2)     paradigma kemanusiaan (humanism), objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur dunia perseptual atau struktur kebutuhan dan dorongan dasar alamiah manusia. Struktur dunia perseptual manusia terdiri atas persepsi, keyakinan, pikiran, perasaan, kebutuhan, konsep diri atau tujuan pribadi, sedangkan struktur kebutuhan atau dorongan dasar alamiah, antara lain berupa rasa ingin tahu (sense of curiosity), hasrat ingin membuktikan secara nyata (sense of interest), dorongan untuk menemukan (sense of discovery), dorongan berpetualang (sense of adventure), dan dorongan menghadapi tantangan (sense of challenge). Adapun persoalan pokok yang perlu dikaji menurut paradigma kemanusiaan adalah antarhubungan antara tindakan manusia dengan struktur dunia perseptual dan struktur kebutuhan dan dorongan dasar alamiah sesuai dengan konteks pendidikan (Huitt, 2001)
(3)     paradigma kognitif, objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur kognitif atau skema kognitif (scheme atau schemata) yang terdapat di dalam setiap individu. Adapun persoalan pokok kajian adalah antarhubungan antara struktur kognitif dan pengembangan kemampuan intelektual individu sesuai dengan konteks pendidikan. Asumsi yang mendasari paradigma kognitif bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk berpikir (homo sapiens). Di dalam dirinya manusia memiliki jiwa intelektual (intelectual soul) yang mampu menentukan sesuatu yang benar dan membedakan antara yang baik dari yang buruk.  
(4)     paradigma sosial kultural, objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud struktur sosial disini adalah perkembangan masyarkat, budaya masyarakat (seperti nilai, norma), institusi-institusi masyarakat termasuk institusi keluarga dan sekolah. Adapun persoalan pokoknya adalah antarhubungan antara struktur sosial dan perkembangan individu sesuai dengan konteks pendidikan.
b.   Komunitas keilmuan (scientific communities)
Komunitas keilmuan merupakan sekelompok orang, organisasi, atau institusi yang menyatukan para ilmuwan, pakar, ahli, praktisi dari suatu disiplin ilmu (the practitioners of a scientific specialty) berdasar pada paradigma bersama (shared paradigm) sehingga mereka memiliki pemahaman terhadap kerangka konsep dan cara pandang bersama.
            Dalam konteks Indonesia, komunitas keilmuan bidang pendidikan meliputi berbagai lapisan dan memiliki struktur atau jaringan yang luas. Ada yang saling tumpang tindih (overlapping), ada yang mandiri. Lapisan komunitas keilmuan yang beragam tersebut antara lain : (1) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di perguruan tinggi baik di tingkat Jurusan, Fakultas, maupun Pascasarjana, (2) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di lembaga Konsorsium Ilmu Pendidikan (3) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu, teknologi dan seni (seperti, balitbang diknas, pusat kurikulum, pustekkom) (4) akademisi, peneleiti, pengembang, dan praktisi yang berada di organisasi ilmuwan dan profesi pendidikan, seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Sosial (ISPS), Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Sosial (HISPISI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan banyak lagi jenis yang lain baik  yang bersifat independen maupun yang ada di bawah naungan pemerintah.
c.    Etika atau kode etik keilmuan
Etika atau kode etik keilmuaan merupakan pedoman, acuan, standar yang dapat berupa sejumlah nilai, norma, atau kaidah keilmuan mengenai sikap dan perlaku yang dipandang layak, pantas, baik, jujur dan benar secara etis serta diakui, dijunjung tinggi, disepakati oleh setiap anggota komunitas keilmuan dalam setiap upaya, karya, dan ikhtiar keilmuan.
Di Indonesia, masalah etika atau kode etik keilmuan mulai dirasakan pentingnya namun belum banyaka komunitas keilmuan yang memilikinya. Hasil kajian dari sejumlah dokumen perguruan tinggi dan HAKI diidentifikasi ada enam aspek tentang etika atau kode etik keilmuan sebagai berikut:
1)        Etika atau kode etik keilmuan tentang kebebasan akademik, meliputi kebebasan mimbar dan otonomi keilmuan, seperti seminar, ceramah, simposium, diskusi panel, konferensi, dan kegiatan akademik lainnya (PP. NO. 60, Pasal 17-18)
2)        Etika atau kode etik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab seperti melaksanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, mengomunikasikan hasil temuan penelitian atau memublikasikan karya ilmiah serta mengembangkan bidang disiplin ilmu pendidikan bisezerdasarkan norma dan kaidah keilmuan yang disepakati anggota komunitas keilmuan.
3)        Etika tau kode etik untuk penggunaan, pengambilan, dan pengumuman dan/ atau perbanyakan sebagian atau keseluruhan dari karya-karya cipta keilmuan, dengan keharusan untuk menyebutkan sumbernya secara lengkap, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dan atau ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan (UU NO.19/2002, Pasal 15). Karya-karya cipta keilmuan tersebut meliputi: buku, karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, alat peraga (Pasal 12).
4)        Etika atau kode etik untuk penerjemah dan perbanyakan karya-karya keilmuan oleh orang atau pihak lain. Penerjemah bisa dilakukan atas inisiatif orang atau pihak lain itu sendiri atau Menteri dapat mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri, memberi izin atau menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan, atas dasar pertimbngan Dewan Hak Cipta, dalam hal karya tersebut untuk kepentingan pendidikan ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap ciptaan-ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan (Pasal 16:1)
5)        Etika atau kode etik tentang tempat penerjemahan, perbanyakan, dan pemakaiannya. Penerjemah baik dilakukan sendiri oleh pencipta maupun oleh orang atau pihak lain atas izin pencipta atau karena diwjibkan oleh pemeintah juga penggunaan atau pemakaian karya-karya hasil terjemahan dan perbanyakannya tersebut, hanya berlaku di dalam wilayah Indonesia (UU No.19/2002, Pasal 16:1-4)
6)        Etika atau kode etik tentang penerimaan dan penggunaan gelar akadmik oleh seorang ilmuwan (Sarjana, Magister, Doktor) dari perguruan tinggi yang memiliki hak dan wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan akademik sesuai dengan bidang keahliannya. Penerimaan dan penggunaan gelar akademik tersebut juga baru boleh dilakukan setelah mereka dianggap telah mengikuti dan menyelesaikan semua kewajiban san/ atau tugas yang dibebankan, dan telah dinyatakan lulus dari perguruan tinngi yang menyelenggarakan akademik.
Dari uraian di atas, jelas bahwa seorang ilmuwan berkarya dan berikhtiar bukan semata-mata untuk mencapai kebenaran empiris dan logis melainkan juga harus mencapai kebenaran etis.
d.   Tradisi keilmuan
Tradisi keilmuan (scientific tradition) merupakan suatu kebiasaan sebagai prestasi keilmuwan warisan suatu generasi komunitas keilmuwan sebelumnya yang sah, sistematis, dimodifikasi, diakui, dijunjung tinggi dan dipraktikkan oleh seluruh komunitas keilmuwan yang berlaku dalam disiplin ilmu tertentu. Menurut Kuhn (1962), tradisi keilmuan yang bersifat ajeg, stabil, konsisten dan berkesinambungan hasil kesepakatan komunitas keilmuan ini disebut normal science. Tradisi keilmuan dibangun dan dikembangkan oleh sejumlah aspek seperti eksemplar-eksemplar, norma-norma, asumsi-asumsi, pedoman-pedoman, simbol-simbol, metode ilmiah serta paradigma yang telah disepakati dan dipraktikkan sehingga menjadi kebiasaan bagi seluruh anggota komunitas keilmuan.
Tradisi keilmuan dibedakan atas dua jenis, yakni (1) tradisi pokok merupakan tradisi-tradisi utama dan umum yang berlaku untuk seluruh komunitas keilmuan dan (2) tradisi sekunder atau teknis (Shils, 1981:14) merupakan tradisi-tradisi keilmuan yang berkaitan dengan teknik atau cara tertentu untuk memandang, mendekati realitas atau fenomena atau obyek serta teka-teki yang ada dan hanya berlaku untuk disiplin ilmu tertentu.

B.  Pendidikan Disiplin Ilmu
Istilah pendidikan disiplin ilmu merupakan istilah yang belum banyak dikenal bahkan dirasakan asing bagi kalangan komunitas keilmuan dalam disiplin tradisional. Di Indonesia, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Nu’man Somantri dalam berbagai karya tulis untuk merespon berbagai tuntutan masyarakat akademik  dalam mengonstruksi sistem pendidikan bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan khususnya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah (Somantri, 2001:19).
Pendidikan disiplin ilmu lahir sebagi suatu pemikiran untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasioanal sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan disiplin ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep, generalisasi, dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (Somantri, 2001: 28). Apabila pendidikan disiplin ilmu ingin berkembang sebagaimana disiplin ilmu tradisional sehingga menjadi normal science maka ia harus memenuhi syarat sebagaimana ditentukan diatas, misalnya
1.        Paradigma keilmuan yang disepakati bersama oleh komunitas keilmuan
2.        Komunitas keilmuan (a community of scholars)
3.        Tradisi keilmuan yang disepakati dan dipraktikkan oleh anggota komunitas keilmuan
Anggota komunitas pendidikan disiplin ilmu sebenarya mengemban tugas yang tidak mudah. Karena kedudukan Pendidikan Disiplin Ilmu berada dalam posisi middle studies atau synthetic discipline, diantara arsiran Disiplin Ilmu Pendidikan, Disiplin Ilmu Pengetahuan, Dimensi Agama, Pancasila, dan Pendidikan Umum terutama pengetahuan fungsional, dan kegiatan dasar manusia (Somantri, 2001:21), maka tanggung jawab komunitaas keilmuan antardisiplin lebih besar daripada komunitas keilmuan monodisiplin. Oleh karena itu, perkembangan akademik Pendidikan Disiplin Ilmu dirasakan sanagat lambat, karena semangat ilmiah dari masyarakat ilmiahnya itu sendiri dirasakan masih kurang (Somantri, 2001:7). Lemahnya semangat ini mengakibatkan tingkat pemahaman dan persepsi di antara komunitas keilmuan bervariasi bahkan tidak sedikit yang tidak paham apa pendidikan ilmu itu.
Secara Substantif, seperti diuraikan diatas, Pendidikan Disiplin Ilmu sebagai middle studies sedikitnya berdiri tiga kaki, yakni Disiplin Ilmu Pendidikan, Disiplin Ilmu Pengetahuan, dan Pengetahuan Fungsional.



BAB III
ANALISIS

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu, hal pertama yang perlu disepakati adalah paradigma keilmuan.  Dalam bukunya yang cukup monumental dan banyak mempengaruhi perkembangan ilmu, The Structure of Scientific Revolution, Kuhn (1996) mengajukan suatu konsep kunci dalam epistemologi keilmuan yang disebut paradigma (paradigm).  Dalam karyanya itu, Kuhn tidak memberikan pengertian tunggal tentang konsep paradigma sehingga konsep tersebut ditafsirkan dan digunakan secara beragam oleh para akademisi dalam menganalisis suatu masalah (Farisi, 2005). Menurut Kuhn, paradigm sangat erat dengan normal science.  Dalam konteks normal science inilah, paradigma adalah “some accepted  examples of actual scientific practice-examples which include law, theory, application, and instrumentation together-provide models…” (Kuhn,1996:10).  Selain berarti contoh-contoh (exemplars) yang dimiliki bersama oleh komunitas akademik, paradigma berarti konstelasi komitmen (constellation of commitments) yang menjadi kerangka berpikir dan cara pandang bagi anggota komunitas keilmuan tertentu didalam mendekati dan memecahkan masalah serta menjelaskan persoalan pokok (subject matters) keilmuan tersebut (Farisi, 2005).
Menurut Kuhn (1996), istilah normal science merupakan suatu tradisi atau kebiasaan hasil temuan dan kesepakatan para komunitas keilmuan yang secara ajeg, konsisten, dan berkesinambungan diwariskan sehingga mereka berupaya mempertahankannya.  Tradisi keilmuan merupakan warisan prestasi keilmuan yang sah dan dicapai oleh para ilmuwan kemudian disistimatisasi, dikodifikasi, dijunjung tinggi dan dijadikan acuan membangun dan mengembangkan keilmuan secara berkelanjutan (Farisi, 2005).  Dengan kata lain, normal science menjadi paradigma yang relatif stabil.
Dalam tulisannya The Structure of Science Education, Gardner (1975) menyatakan bahwa disiplin ilmu memiliki realitas.  Ia mengidentifikasi disiplin ilmu, “consist of identifiable groups of people who work together, meet each other at conferences, travel to each others’ laboratories, correspond with each other, write journal articles for each other, and decide who, and which ideas, they are prepared to admit to the club”.
Bila dimaknai, maka disiplin ilmu terdiri atas: (1) sekelompok orang yang bekerja bersama-sama; (2) saling bertemu dalam konferensi; (3) saling mengunjungi laboratorium; (4) saling berkorespondensi; (5) saling menulis artikel jurnal; dan (6) mengambil keputusan tentang gagasan siapa yang disepakati oleh kelompok keilmuan tersebut.
Sedangkan Dufty (1970:154), mengemukakan unsur-unsur disiplin ilmu sebagai berikut:
(1) a community of scholars who choose to call themselves by a particular name; (2) a body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consists of facts, concepts, generalizations and theories; dan (3) a method of approach to knowledge, i.e. process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge. Bila dimaknai, maka unsur disiplin ilmu menurut Dufty ini meliputi: (1) komunitas ahli yang memberi namanya tertentu; (2) majelis berpikir, berbicara, dan menulis tentang fakta, konsep, generalisasi, dan teori; (3) metode pendekatan ilmu pengetahuan, seperti bagaimana proses para ahli memperoleh, mengelola, dan menggunakan pengetahuannya. Dari sejumlah pendapat tentang teori keilmuan dan/atau disiplin keilmuan di atas, maka dapat diidentifikasi bahwa sebuah disiplin ilmiah dalam ketegori normal science harus memiliki: (1) paradigma keilmuan; (2) komunitas keilmuan; (3) etika pengakuan gagasan atau kode etik keilmuan; dan (4) tradisi keilmuan.  Semua unsur yang menjadi syarat sebuah disiplin ilmiah ini pada hakikatnya tidak berdiri sendiri atau terpisah-pisah melainkan saling terkait bahkan menyatu sebagai suatu sistem yang sinergis.  Empat unsur yang menjadi syarat disiplin ilmu masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dilihat dari posisinya, PKn sangat erat dan dekat dengan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS).  Secara filosofis, posisi PKn dalam konteks filsafat pendidikan disiplin ilmu dan/ atau pendidikan IPS memiliki kemiripan karena sama-sama sebagai pendidikan disiplin ilmu dan/atau disiplin ilmu terintegrasi.  Sebagai disiplin ilmu yang sedang berkembang, PKn memerlukan filsafat yang dapat dijadikan rujukan atau panduan/pedoman bagi komunitas keilmuan PKn dalam mengembangkan disiplin ilmu ini melalui penelitian. Dilihat dari kedudukannya, filsafat PKn yang dapat dikembangkan merupakan bagian dari filsafat pendidikan disiplin ilmu disamping filsafat pendidikan Geografi, filsafat pendidikan Sejarah, filsafat pendidikan Ekonomi, filsafat pendidikan Sosiologi, dan filsafat PIPS lainnya.  Filsafat PIPS merupakan integrasi (eklektik) dari dua kajian filsafat, yakni Filsafat Pendidikan dan Filsafat Ilmu-Ilmu Sosial.  Filsafat PKn sebagaimana filsafat pendidikan disiplin ilmu dipengaruhi oleh faham filsafat ilmu, filsafat pendidikan, dan filsafat ilmu-ilmu sosial baik dalam kajian ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.  Secara ontologis, pengaruh filsafat ilmu-ilmu sosial yang paling kuat berasal dari dua disiplin, yakni ilmu politik dan hukum.  
Untuk mengkaji PKn dengan pendekatan filsafat pendidikan yang sejalan dengan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini seyogianya bertolak dari suatu kontinum Progressivism-Reconstructionism karena filsafat ini menganggap bahwa “Education is conceived by them primarily as an agent of cultural change, modification, or rebuilding” (Brameld, 1956:32).  Meskipun demikian, kontinumEssentialism-Perennialism tetap memberikan andil terhadap kajian filsafat PKn, karena filsafat ini menganggap  “education as cultural transmission, reinforcement, or conservation.”  Melakukan konseptualisasi PKn dengan pendekatan filosofis tidak mungkin bertolak dari kondisi saat ini dengan mengabaikan dan/atau tanpa mempertimbangkan hasil pengalaman masa terdahulu atau hasil pikir dan peradaban terbaik dari masa lampau.  Rekonstruksi PKn dikonsepsikan sebagai upaya transmisi, penguatan atau konservasi disamping sebagai transformasi,  agen perubahan, modifikasi, atau pembangunan kembali budaya kewarganegaraan




BAB IV
KESIMPULAN

1.    Sebuah disiplin akademik atau disiplin ilmiah haruslah memiliki tubuh pengetahuan (body of knowledge), struktur pengetahuan (structure of body of knowledge). Ada sejumlah unsur pokok sebuah struktur disiplin ilmu khususnya disiplin ilmu pendidikan, yakni: (1) landasan, (2) Disiplin ilmiah (3) domain (4) struktur substantif dan sintaksis. Dalam sebuah struktur disiplin ilmu, unsur-unsur pokok tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Ilmu pendidikan sebagai sebuah disiplin hendaknya memilih landasan yang memberikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang struktur disiplin ilmu pendidikan. Bagaimana dan mengapa struktur disiplin ilmu tersebut dibangun dan dikembangkan serta ke mana arah, tujuan dan sasaran pengembangan dilakukan oleh masyarakat ilmiahnya. Landasan-landasan disiplin ilmu pendidikan meliputi: filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis, psikologis, dan religius.
2.    Sebuah disiplin ilmiah harus memiliki: (1) paradigma keilmuan, (2) komunitas keilmuan, (3) etika atau kode etik keilmuan dan (4) tradisi keilmuan. Semua unsur yang menjadi syarat sebuah disiplin ilmiah ini pada hakikatnya tidak berdiri sendiri atau terpisah melainkan saling terkait bahkan menyatu sebagai suatu sistem yang sinergis. Istilah pendidikan disiplin ilmu dapat diidentifikasi dalam kajian keilmuan dan pembelajaran, seperti istilah Science Education, Social Education, Social Studies, Social Science Education, Social Studies Education, Studies of Society and Environment, dan istilah lainnya yang memiliki karakteristik sebagai suatu synthetic discipline. Pendidikan disiplin ilmu bersifat synthetic discipline antara disiplin ilmu (murni atau non kependidikan) dan ilmu pendidikan dengan pendekatan ilmiah (scientifically) dan psikologis (psychologically) dengan mengacu pada tujuan pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA

Brameld, Theodore. (1955). Philosophies Of Education In Cultural Pers. New York: Holt, Rinehart And Winston.

Gardner, P.L (1975). The Structure Of Science Education. Hawthorn Victoria: Longman.

Kuhn. T.S (1962). The Structure Of Scientific Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Keilmuan. Alih Bahasa Tjun surzaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Somantri, Nu’man. (2001). Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remaja Rosdakarya.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMPERKUAT ILMU SOSIAL MELALUI PENDEKATAN KUALITATIF

MEMPERKUAT ILMU SOSIAL MELALUI PENDEKATAN KUALITATIF Yoga Gandara 1 , Suwarma Al Muchtar ², 1 Mahasiswa Program Studi PKn SPS UPI...