oleh Yoga Gandara
Mahasiswa Pascasarjana UPI Bandung
Sampai saat ini
pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang
yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di
perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan
kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang
terbuka (Openspace) untuk artikulasi
dan kesehatan masyarakat.
Sebagai wahana
interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota
masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang
publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial
suatu masyarakat.
Terbitnya
Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin
menguatnya keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan
berkelanjutan yang harus menjadi salah satu konsen
utama dalam pembangunan baik di negara maju maupun negara berkembang. Di dalam
negeri sendiri, Undang-undang tersebut juga sejalan dengan semakin kritisnya
kondisi lingkungan di Indonesia yang ditandai dengan fenomena semakin sering
dan besarnya banjir, serta tanah longsor yang melanda hampir seluruh wilayah
Indonesia.
Dalam rangka merespon hal-hal tersebut pada
Undang-undang Nomor 26/2007, muatan terkait dengan isu lingkungan hidup semakin
ditekankan. Salah satunya adalah dalam kaitan dengan Perencanaan Ruang Wilayah
Kota yang diharuskan memuat rencana penyediaan dan pemanfatan Ruang Terbuka
Hijau (RTH).
Undang-undang
tersebut mencantumkan bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya
diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya untuk
Ruang Terbuka Hijau, dimana 20% diperuntukan bagi Ruang Terbuka Hijau publik
yang merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
kota dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, serta 10%
diperuntukan bagi Ruang Terbuka Hijau privat pada lahan-lahan yang dimiliki
oleh swasta atau masyarakat.
Kebijakan yang
menjadi acuan dalam Pemeliharaan Ruang terbuka Hijau (RTH) ialah Undang-undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, selanjutnya Pemerintah Kota Bandung
berupaya untuk merealisasikannya dengan lahirnya Peraturan Daerah Kota Bandung
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Namun hal yang
lebih penting sebenarnya ialah bukan hanya sebatas kebijakan itu dibuat, tetapi
bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut.
Kebijakan
pemerintah kota dan pemerintah pusat tentu tidak boleh saling bertentangan,
sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah kota
akan mewujudkan keharmonisan peraturan dan tercipta masyarakat yang kondusif
memahami setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Setiap kebijakan
pemerintah kota mengacu kepada Undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah
pusat dan pemerintah kota menjalankan melalui Peraturan Daerah (Perda)
menyesuaikan dengan kondisi dan karakter masyarakat kota tersebut pasca otonomi
daerah.
RTH merupakan salah satu
unsur penting dalam membentuk lingkungan kota yang nyaman dan sehat, selain itu
mendukung manfaat ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika kota. Jadi
penting untuk mendukung agar pemeliharaan RTH tetap dilakukan, lebih baik lagi
apabila bisa menambah luasan RTH. Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas
Pemakaman dan Pertamanan guna memelihara RTH melakukan upaya pemeliharaan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pemeliharaan yang dilakukan yang
diutamakan ialah jalur hijau jalan dan taman-taman kota.
Berdasarkan data dari
Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung, saat ini Kota Bandung hanya
memiliki lahan RTH sebesar 8,87% dari luas wilayah Kota Bandung. Untuk itu
Pemerintah Kota berupaya melakukan pemeliharaan lahan tersebuat agar tetap
terjaga dan berkoordinasi dengan Dinas Tata Ruang dan Karya Cipta mengenai
rekomendasi lahan yang akan dijadikan RTH.
Permasalahan beralih
fungsinya lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan fenomena yang sulit
dihindari dalam kehidupan masyarakat, terutama di daerah perkotaan. Masalah
pengalih fungsian lahan RTH di Indonesia khususnya Kota Bandung dengan luas
lahan 16.726 Ha dan jumlah penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa tergolong kota
yang padat penduduk. Sebuah konsekuensi logis yang akan membawa berbagai dampak
pembangunan, antara lain apabila tidak ada keseimbangan dalam pemanfaatan
antara ruang terbangun dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan terjadi degradasi
lingkungan.
Pembangunan haruslah
terjadi dan berorientasi pada terbentuknya kota yang maju secara ekonomi dan
nyaman secara ekologi. Tekanan sosial, ekonomi, dan budaya akibat peningkatan
penduduk Kota Bandung menyebabkan perubahan pada pemanfaatan ruang secara
signifikan, dimana karena kebutuhan sarana dan infrastruktur kota menyebabkan
Ruang Terbuka Hijau semakin termarjinalkan.
Pemeliharaan RTH merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas agar
RTH dapat berkelanjutan. Pemeliharaan meliputi kegiatan penyulaman,
pendangiran, pemupukan, penyiraman, pembabatan, pengendalian hama dan penyakit,
pemangkasan, dan penebangan pohon. Pemerintah Kota wajib melakukan pemeliharaan
dengan melibatkan pelaku pembangunan. Pemeliharaan RTH dikoordinasikan oleh
Walikota, dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas yang membidangi
pengelolaan RTH.
Dalam rangka perencanaan pengelolaan RTH, Pemerintah Daerah
menyusun master plan dengan
berpedoman pada dokumen perencanaan ruang di Daerah. Master plan yang dimaksud itu memuat:
a. zonasi
pemanfaatan RTH sesuai dengan jenis RTH sebagaimana diatur dalam Peraturan
Daerah; dan
b. analisis
kebutuhan RTH sesuai dengan pola sebaran sub wilayah kota yang terdiri dari :
penetapan luas RTH, jenis dan kriteria vegetasi, serta elemen estetika
pendukung RTH.
Permasalahan beralih fungsinya lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
merupakan fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan masyarakat, terutama di
daerah perkotaan. Masalah pengalih fungsian lahan RTH di Indonesia khususnya
Kota Bandung dengan luas lahan 16.726 Ha dan jumlah penduduk lebih dari 2,5
juta jiwa tergolong kota yang padat penduduk. Sebuah konsekuensi logis yang
akan membawa berbagai dampak pembangunan, antara lain apabila tidak ada
keseimbangan dalam pemanfaatan antara ruang terbangun dengan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) akan terjadi degradasi lingkungan.
Dalam implementasi kebijakan pelaksanaan tentang pemeliharaan RTH,
walikota bertanggung jawab atas kegiatan pengawasan dan pengelolaan. Pengawasan
yang dimaksud meliputi: (1) pemantauan, (2) monitoring, dan (3) evaluasi.
Pengawasan tersebut didelegasikan kepada Kepala SKPD yang membidangi
pemeliharaan RTH dan hasilnya dilaporkan kepada walikota secara berkala setiap
triwulan.
Pemantauan dilakukan dalam rangka mencermati dan mengantisipasi
terjadinya kerusakan RTH. Monitoring dilakukan oleh Kepala SKPD yang membidangi
pengelolaan RTH dalam rangka mengidentifikasi dan menginventarisasi seluruh
kegiatan pemanfaatan dan pemeliharaan RTH. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh
kegiatan pengelolaan RTH secara terkoordinasi dan terpadu dengan melibatkan
SKPD terkait kemudian dilaporkan kepada Walikota sebagai bahan perumusan
kebijakan pengelolaan RTH.
Selanjutnya Pemerintah Kota melakukan pengendalian sebagaimana
tercantum dalam Perda Kota Bandung Nomor 7 tentang Pengelolaan RTH yang
meliputi: (1) perizinan, (2) penertiban, (3) penegakan hukum. Lingkup tujuan
pengendalian RTH itu antara lain:
a. target
pencapaian ketersediaan RTH;
b. fungsi
dan manfaat RTH;
c. luas dan
lokasi RTH; dan
d. kesesuaian
spesifikasi pemanfaatan lahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan data dari Rencana Strategis Dinas Pemakaman dan
Pertamanan Kota Bandung dijelaskan bahwa yang menjadi hambatan Diskamtam yaitu:
a. Aspek
spasial ruang: Belum ada masterplan RTH, pola sebaran RTH belum
merata
b. Aspek
Kelembagaan: belum ada sinergitas program antar instansi terkait; Pendanaan,
SDM dan Pendukung operasional belum optimal
c. Aspek
Masyarakat : kurangnya awarness dari
masyarakat terhadap eksistensi RTH sebagai
Ruang Publik
Hal lain yang menjadi hambatan dalam upaya pemeliharaan RTH di Kota
Bandung adalah pihak swasta yang hanya ingin mencari keuntungan untuk
pribadinya. Banyak lahan-lahan RTH yang telah beralih fungsi yang seharusnya
menjadi taman-taman kota, hutan-hutan kota, banyak ditumbuhi pohon, tetapi
malah dijadikan bangunan-bangunan yang bernilai komersil. Ini menjadi tugas
bersama untuk memantau agar jangan sampai ada RTH yang beralih fungsi lagi.
Berdasarkan
hasil pemaparan di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai hambatan-hambatan yang dialami oleh Pemerintah Kota dalam
upaya pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung ini yaitu; (1) ketersediaan Sumber Daya Manusia
dilihat dari kualitas dan kuantitas, (2) keterbatasan sumber dana atau
anggaran, (3) sangat minimnya sarana dan prasarana pendukung operasional
Diskamtam untuk memelihara RTH di Kota Bandung, (4) kurangnya kesadaran warga
masyarakat untuk peduli dan memelihara lingkungan khususnya RTH , dan (5) pihak
swasta yang hanya berorientasi komersil.
Sementara upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai masukan dalam
pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandung, Pemerintah Kota dalam
hal ini Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung telah melakukan beberapa
upaya, antara lain:
1) Intensifikasi
penataan dan pemeliharaan RTH melalui peningkatan kualitas RTH pada lahan-lahan
yang sudah ada seperti; penataan dan pemeliharaaan taman-taman kota, jalur
hijau jalan, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau kawasan penyangga, dan
lain-lain.
2) Ekstensifikasi
RTH melalui penambahan luas RTH, antara
lain; pengembalian lahan-lahan RTH yang telah beralih fungsi menjadi tempat
hunian, Pedagang Kaki Lima (PKL), SPBU, dan kegiatan lain yang tidak memiliki
ijin, dan rencana pengembangan RTH di beberapa titik kota yang ditentukan.
3) Melakukan
penambahan sarana prasarana dan tenaga operasional di lapangan
4) Melakukan
pengajuan penambahan anggaran dana untuk mendukung dan memaksmalkan dalam upaya
pemeliharaan RTH
5) Pengendalian
pemanfaatan ruang melalui proses perijinan yang dilaksanakan di SKPD terkait
(Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya). Dinas Pemakaman dan Pertamanan turut serta
memberikan masukan dan rekomendasi khususnya dalam penataan RTH dan
pemeliharaannya.
6) Meningkatkan
komunikasi dan sosialisasi terhadap seluruh lapisan masyarakat tentang
pemeliharaan RTH
7) Meningkatkan
pola-pola kemitraan terhadap berbagai stakeholder
tentang pengelolaan RTH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar