Pendekatan
Penelitian
A.
Kualitatif
Metode-metode
untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang dianggap berasal darimasalah sosial atau masalah kemanusiaan.
(Creswell, 2007)
Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong,
2000: 3) penelitian kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati”. Melalui pendekatan kualitatif ini diharapkan
peneliti dapat melakukan kajian secara komprehensif berkaitan dengan masalah
penelitian.
Miles & Huberman (2007:2)
mengemukakan bahwa “dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami
alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran
orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat”.
Selanjutnya Creswell (2008:50)
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut.
Qualitative research is an inquiry process of understanding
based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or
human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes
words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a
natural setting.
Pernyataan ini menyiratkan
bahwa pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada
kajian interpretatif data hasil penelitian dan tidak menggunakan kuantifikasi
atau perhitungan statistik.
Menurut
Setyosari (2010:37) penelitian kualitatif menganut pandangan post-positivistik
yang didasari dengan asumsi bahwa hal yang utama tentang fenomena sosial
dikonstruksi sebagai interpretasi oleh individu-individu dan interpretasi
tersebut cenderung bersifat tidak tetap dan situasional.
Penelitian
kualitatif dilakukan untuk memahami suatu fenomena secara mendalam dengan
peneliti sebagai instrumen utama. Metode pengumpulan data dengan menggunakan
pengamatan (observasi) dan wawancara. Penelitian kualitatif menuntut peneliti
sebagai instrumen utama penelitian, hal ini bermakna bahwa peneliti harus
cerdas dalam menafsirkan, mengartikan, memaknai dan menginterpretasikan data
yang didapatkan menjadi sebuah jawaban penelitian (penyelesaian masalah).
B.
Kuantitatif
Merupakan
metode-metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan
antar variabel yang di ukur biasanya dengan instrumen penelitian yang terdiri
dari angka-angka dan dapat dianalisis berdasarkan prosedur statistik.
(Creswell. 2008)
Metode Kuantitatif Adalah metode yang lebih menekankan pada aspek
pengukuran secara obyektif terhadap fenomena social. Untuk dapat melakukan
pengukuran, setiap fenomena social di jabarkan kedalam beberapa komponen
masalah, variable dan indicator. Setiap variable yang di tentukan di ukur
dengan memberikan symbol – symbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan
kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan
symbol – symbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik
dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum
di dalam suatu parameter. Tujuan utama dati metodologi ini ialah menjelaskan
suatu masalah tetapi menghasilkan generalisasi. Generalisasi ialah suatu
kenyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah
yang di perkirakan akan berlaku pada suatu populasi tertentu. Generalisasi
dapat dihasilkan melalui suatu metode perkiraan atau metode estimasi yang umum
berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi itu sendiri dilakukan
berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih terbatas lingkupnya
yang juga sering disebut “sample” dalam penelitian kuantitatif. Jadi, yang
diukur dalam penelitian sebenarnya ialah bagian kecil dari populasi atau sering
disebut “data”. Data ialah contoh nyata dari kenyataan yang dapat diprediksikan
ke tingkat realitas dengan menggunakan metodologi kuantitatif tertentu.
Penelitian kuantitatif mengadakan eksplorasi lebih lanjut serta menemukan fakta
dan menguji teori-teori yang timbul.
Landasan
berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali
diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah
bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang
disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta
sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu
fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif
diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi
tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel
bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997).
Penelitian
kuantitatif umumnya merupakan penelitian yang memiliki jumlah dalam
penelitiannya. Banyak, sedikit atau besar, kecil yang dijabarkan dalam bentuk
angka-angka yang merupakan bagian utama dari sebuah penelitian kuantitatif.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan atau segala hal tentang
fenomena yang terjadi pada alam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
biasanya menggunakan metode seperti wawancara, survey, mengisi kuisioner, dan
sebagainya.
Penelitian
kuantitatif tebagi dua yakni penelitian eksperimen dan non-eksperimen. Dalam
penelitian eksperimen, ada banyak jenis penelitian, diantaranya adalah penelitian
eksperimen murni, penelitian eksperimen semu, dan penelitian tindak kaji
(action research). Peneltian eksperimen murni adalah penelitian yang dicirikan
4 hal, yaitu adanya perlakuan, adanya kelompok kontrol, adanya ukuran
keberhasilan, dan random sampling (pengambilan sampel secara acak). Penelitian
eksperimen semu merupakan penelitian eksperimen yang tidak dapat memenuhi
keempat ciri (di eksperimen murni), dengan kata lain salah satu ciri yang ada
di penelitian eksperimen murni tidak dapat dilakukan. Penelitian tindak kaji
(action research) adalah penelitian yang proses penelitiannya bersiklus dengan
tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas secara berkelanjutan.
Yang dimaksud bersiklus adalah penelitian tidak akan berhenti sampai terjadi
perbaikan kualitas (tujuan penelitian tercapai).
Penelitian non-eksperimen merupakan
penelitian yang dalam proses penelitiannya tidak ada perlakuan. Penelitian
non-eksperimen terbagi menjadi banyak jenis penelitian, akan tetapi yang paling
sering dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, jenis penelitian survei,
jenis penelitian korelasi, dan jenis penelitian komparasi. Jenis penelitian
deskripsi adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan gejala, fenomena
atau peristiwa. Jenis penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel
dari populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Jenis
penelitian korelasi adalah penelitian yang menghubungkan satu/lebih variabel
bebas dengan satu variabel terikat tanpa ada upaya untuk mempengaruhi. Dan
jenis penelitian komparasi adalah penelitian yang membandingkan satu kelompok
sampel dengan kelompok sampel lainnya berdasarkan variabel/ukuran tertentu.
C.
Mix
Method
Desain penelitian metode
campuran adalah suatu prosedur untuk menghimpun, analisis, dan “mencampur”
penelitian kuantitatif dan kualitatif serta metode dalam suatu pembelajaran
tunggal untuk mengerti suatu permasalahan penelitian (Creswell & Plano
Clark, 2007). Penelitian
metode campuran merupakan kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam
semua tataran atau tahapan. Bukan sekedar kombinasi data kuantitatif dan
kualitatif saja, melainkan sejak tahapan perencanaan dalam bentuk perumusan
masalah, cara perumusan masalah kedua penelitian itu telah dikombinasikan.
(Andrew & Halcomb (2009:3).
Ditambah dengan argument dari (creswell dan plano,2007),
Penelitian metode campuran merupakan pendekatan penelitian yang
mengkombinasikan dan mengasosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif.
Penelitian ini melibatkan asumsi-asumsi filosofis, pendekatan-pendekatan
kualitatif dan kuantitatif, dan pencampuran (mixing) kedua pendekatan tersebut dalam satu penelitian. pendekatan
ini lebih kompleks dari sekedar mengumpulkan dan menganalisis dua jenis data,
ia juga melibatkan fungsi dari dua pendekatan penelitian tersebut secara
kolektif sehingga kekuatan penelitian ini secara keseluruhan lebih besar
ketimbang penelitian kualitatif dan kuantitatif.
Paradigma Penelitian
A.
Post-positivisme
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun
1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya adalah Karl R.
Popper, Thomas Kuhn,
para filsuf mazhab
Frankfurt (Feyerabend,
Richard Rotry). Paham
ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang
manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan
satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah
Postpositivisme
adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme.
Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata,
ada sesuai hukum alam. Tetapi pada
sisi lain, Postpositivisme berpendapat
bahwa manusia tidak mungkin
mendapatkan kebenaran dari realitas
apabila peneliti membuat
jarak dengan realitas
atau tidak terlibat
secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan
realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber
data, data, dan lain-lain.
Paradigma
ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme,
yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang
diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
harus menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam
metode, sumber data, peneliti, dan teori.
ASUMSI DASAR POST-POSITIVISME
- Fakta tidak bebas nilai,
melainkan bermuatan teori.
- Falibilitas Teori,
tidak satupun teori
yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk
menunjukkan fakta anomali.
- Fakta tidak bebas, melainkan
penuh dengan nilai.
- Interaksi antara
subjek dan objek
penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif,
melainkan hasil interaksi manusia
dan semesta yang
penuh dengan persoalan dan
senantiasa berubah.
- Asumsi dasar
post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
- Hal itu berarti bahwa realitas
(perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya
sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
- Fokus kajian
post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
Ada empat
pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran
post-positivisme dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, Bagaimana
sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain?
Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah?
Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan
postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam
bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah
satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui
berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
Kedua, Bukankah
postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan
usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism)
adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak
postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini
menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple
realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri?
Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman
sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa
paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya,
relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai
hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena
pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar
pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini
sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran
yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak
ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
B.
Kontruktivisme
Konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang
menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka sendiri
tentang pengetahuan yang dipelajarinya. Slavin (1994:225) mengungkapkan bahwa
konstruktivisme dalam sejarah pendidikan lahir dari gagasan-gagasan Piaget dan
Vigotsky. Keduanya menekankan bahwa perkembangan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi baru. Menurut Anderson (dalam
Slavin, 1994:48) dalam pandangan konstruktivisme individu dipandang
mengkonstruksi pengetahuan secara berkesinambungan mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi baru. Berarti bahwa pengetahuan merupakan kostruksi
atau bangunan manusia sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang mempelajari
suatu pengetahuan berarti belajar mengkonstruksi pengetahuan, atau belajar
adalah suatu proses aktif seseorang mengkonsumsi pengetahuan.
2. Ciri Pembelajaran Konstruktivisme
2. Ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Good & Brophy (dalam Kauchack & Eggen, 1998:185)
menyebutkan ciri pembelajaran konstruktivisme secara umum sebagai berikut.
- Siswa
membangun sendiri pemahamannya
- Belajar
yang baru bergantung pada pemahaman sebelumnya
- Belajar
difasilitasi oleh interaksi sosial
- Belajar
yang bermakna terjadi didalam tugas-tugas belajar mandiri
Alexander & Murphy (dalam Kauchack, 1998:9) mengajukan 5
pertanyaan umum tentang belajar dan mengajar yang sejalan dengan pendapat Good
& Grophy, yaitu:
- Pengetahuan
awal siswa mempengaruhi belajarnya
- Siswa
perlu memikirkan strategi belajarnya
- Motivasi
berpengaruh kuat pada belajar
- Perkembangan
dan perbedaan individual mempengaruhi belajar
- Kontek
sosial di dalam kelas mempengaruhi belajar
Kauchack & Eggen (1998:192-193) mengemukakan bahwa
pembelajaran untuk memfasilitasi konstruksi pengetahuan memuat 4 aspek penting
sebagai berikut.
- Pembelajaran
berfokus pada penjelasan dan jawaban siswa atas masalah atau pertanyaan.
- Penjelasan
dan jawaban datang dari siswa
- Penjelasan
dan jawaban bersumber dari representasi konsep
- Guru
membantu siswa mengkonstruk pengetahuan dengan mengarahkan interaksi
sosial dan menyediakan representasi konsep.
Dengan demikian, esensi pembelajaran dalam pandangan
konstruktivisme adalah tidak terlepas dari belajar aktif dengan tujuan akhir
yang bermuara pada pemecahan masalah, atau dapat dikatakan bahwa pembelajaran
dalam pandangan konstruktivisme adalah pemecahan masalah; bukan hanya pemecahan
masalah bagi siswa, tetapi juga memecahkan masalah guru.
3. Implikasi Paradigma Konstruktivisme Dalam
Pembelajaran
Hudoyo (1998:7) menjelaskan sebagai implikasi dari pandangan
konstruktivistik dalam pembelajaran, ada beberapa hal yang terkait dengan
lingkungan belajar yang perlu diupayakan, yakni:
- Menyediakan
pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan;
- Menyediakan
berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang
sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara;
- Mengintegrasikan
pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan
pengalaman konkret dalam kehidupan sehari-hari;
- Mengintegrasikan
pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu
terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau dengan
lingkungannya;
- Memanfaatkan
berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif;
- Melibatkan
siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan
iswa mau belajar.
Robert E. Yager (1991) mengemukakan tahap pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap invitasi,
eksplorasi, pengajuan eksplanasi dan solusi, dan pelaksanaan tindakan.
- Invitasi
diperlukan
untuk mengidentifikasi konsepsi awal siswa sebelum pelaksanaan
pembelajaran dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
berikut: mengamati keingintahuan siswa, siswa menjawab pertanyaan,
mempertimbangkan kemungkinan jawaban pertanyaan, mencatat hal-hal yang
tidak diperkirakan, dan mengenali situasi yang diharapkan siswa.
- Eksplorasi
adalah
tahap pelaksanaan pembelajaran dengan melibatkan siswa secara aktif
menggali informasi-informasi baru. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan
pada tahap eksplorasi adalah: mengajak siswa untuk fokus pada
pembelajaran, mendiskusikan alternative alternatif kemungkinan, mencari
informasi, melakukan percobaan dengan alat dan bahan yang ada, mengamati
gejala-gejala khusus, merancang model, mengumpulkan dan mengolah data,
menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah, memilih sumbersumber
yang tepat, mendiskusikan solusi dengan yang lain, merancang dan
melaksanakan percobaan, ikut serta dalam diskusi, mengenali resiko dan
konsekwensi-konsekwensi yang timbul, menentukan parameter suatu
penyelidikan, menganalisis data dan sebagainya.
- Pengajuan
eksplanasi dan
solusi merupakan tahap diskusi yang dilakukan di antara siswa, baik
secara individu maupun secara kelompok. Kegiatan diskusi ini juga dapat
berlangsung dengan guru yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan yang terjadi
pada tahap pengajuan eksplanasi (penjelasan) dan solusi (penyelesaian)
adalah: mengkomunikasikan informasi dan ide-ide, membangun dan menjelaskan
model, membangun penjelasan baru, mereview dan mengupas penyelesaian,
menggunakan evaluasi kolompok, memasang jawaban jawaban atau
solusi-solusi, menentukan penutup yang sesuai, dan memadukan solusi dengan
pengetahuan dan pengalaman.
- Taking
action atau
tahap pengambilan tindakan merupakan tahap akhir pembelajaran, pada tahap
ini siswa merumuskan hasil eksplorasi dan diskusinya. Pada tahap ini juga
diberikan evaluasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan guru, baik secara lisan maupun sacara tulisan. Kegiatan-kegiatan
yang dapat dilakukan pada tahap taking action adalah: membuat
keputusan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, mentransfer
pengetahuan dan keterampilan, berbagi informasi dan ide-ide, menjawab
pertanyaan baru, dan mengembangkan hasil dan ide-ide.
Konstruktivisme/interpretivisme
berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas Edmund Husserl and pemahaman
intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan and Wilhelm Dilthey
(Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Bagi penganut
konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan upaya untuk memahami
realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan
sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung
tergantung pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian
konstruktivisme pada umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori
(sebagaimana halnya dengan postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori
atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Metode
penjaringan dan analisis yang digunakan penganut konstruktivisme biasanya
berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat digunakan untuk
mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.
C.
Advokasi/Partisipatoris
Aliran
advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an
sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan
kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari
paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan
’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan didasarkan pada
penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti
advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/
interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang
terpinggirkan secara memadai (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006).
Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan
agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan
tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat
individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan
dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting
sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan,
dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah
satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama
secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat
membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau
menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya
dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/partisipatori/transformatif
dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan
kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan
memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk mengembangkan
potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif dan
lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang
nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.
D.
Pragmatis
Aliran Pragmatisme tidak terikat pada
sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut pragmatisme pada awalnya
menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat mengakses
kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode ilmiah
tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada
masalah penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami
masalah itu. Oleh karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik,
dan prosedur penelitian yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya.
Karakteristik ini menunjukkan bahwa pragmatisme merupakan paradigma yang
menyangga landasan filosofis studi metode gabungan (mixed-methods research).
Meskipun demikian beberapa peneliti yang menggunakan metode gabungan, secara
filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada paradigma transformatif
paradigm (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini mengungkapkan
bahwa metode gabungan dapat digunakan dalam berbagai paradigma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar