Selasa, 20 Februari 2018

Paradigma Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mix Method

Pendekatan Penelitian
A.    Kualitatif
Metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal darimasalah sosial atau masalah kemanusiaan. (Creswell, 2007)
Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2000: 3) penelitian kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Melalui pendekatan kualitatif ini diharapkan peneliti dapat melakukan kajian secara komprehensif berkaitan dengan masalah penelitian.
Miles & Huberman (2007:2) mengemukakan bahwa “dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat”. Selanjutnya Creswell (2008:50) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut.
Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Pernyataan ini menyiratkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada kajian interpretatif data hasil penelitian dan tidak menggunakan kuantifikasi atau perhitungan statistik.



Menurut Setyosari (2010:37) penelitian kualitatif menganut pandangan post-positivistik yang didasari dengan asumsi bahwa hal yang utama tentang fenomena sosial dikonstruksi sebagai interpretasi oleh individu-individu dan interpretasi tersebut cenderung bersifat tidak tetap dan situasional.
Penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami suatu fenomena secara mendalam dengan peneliti sebagai instrumen utama. Metode pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan (observasi) dan wawancara. Penelitian kualitatif menuntut peneliti sebagai instrumen utama penelitian, hal ini bermakna bahwa peneliti harus cerdas dalam menafsirkan, mengartikan, memaknai dan menginterpretasikan data yang didapatkan menjadi sebuah jawaban penelitian (penyelesaian masalah).

B.     Kuantitatif
Merupakan metode-metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antar variabel yang di ukur biasanya dengan instrumen penelitian yang terdiri dari angka-angka dan dapat dianalisis berdasarkan prosedur statistik. (Creswell. 2008)
Metode Kuantitatif Adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap fenomena social. Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena social di jabarkan kedalam beberapa komponen masalah, variable dan indicator. Setiap variable yang di tentukan di ukur dengan memberikan symbol – symbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan symbol – symbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di dalam suatu parameter. Tujuan utama dati metodologi ini ialah menjelaskan suatu masalah tetapi menghasilkan generalisasi. Generalisasi ialah suatu kenyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah yang di perkirakan akan berlaku pada suatu populasi tertentu. Generalisasi dapat dihasilkan melalui suatu metode perkiraan atau metode estimasi yang umum berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi itu sendiri dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih terbatas lingkupnya yang juga sering disebut “sample” dalam penelitian kuantitatif. Jadi, yang diukur dalam penelitian sebenarnya ialah bagian kecil dari populasi atau sering disebut “data”. Data ialah contoh nyata dari kenyataan yang dapat diprediksikan ke tingkat realitas dengan menggunakan metodologi kuantitatif tertentu. Penelitian kuantitatif mengadakan eksplorasi lebih lanjut serta menemukan fakta dan menguji teori-teori yang timbul.
Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997).
Penelitian kuantitatif umumnya merupakan penelitian yang memiliki jumlah dalam penelitiannya. Banyak, sedikit atau besar, kecil yang dijabarkan dalam bentuk angka-angka yang merupakan bagian utama dari sebuah penelitian kuantitatif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan atau segala hal tentang fenomena yang terjadi pada alam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini biasanya menggunakan metode seperti wawancara, survey, mengisi kuisioner, dan sebagainya.
Penelitian kuantitatif tebagi dua yakni penelitian eksperimen dan non-eksperimen. Dalam penelitian eksperimen, ada banyak jenis penelitian, diantaranya adalah penelitian eksperimen murni, penelitian eksperimen semu, dan penelitian tindak kaji (action research). Peneltian eksperimen murni adalah penelitian yang dicirikan 4 hal, yaitu adanya perlakuan, adanya kelompok kontrol, adanya ukuran keberhasilan, dan random sampling (pengambilan sampel secara acak). Penelitian eksperimen semu merupakan penelitian eksperimen yang tidak dapat memenuhi keempat ciri (di eksperimen murni), dengan kata lain salah satu ciri yang ada di penelitian eksperimen murni tidak dapat dilakukan. Penelitian tindak kaji (action research) adalah penelitian yang proses penelitiannya bersiklus dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas secara berkelanjutan. Yang dimaksud bersiklus adalah penelitian tidak akan berhenti sampai terjadi perbaikan kualitas (tujuan penelitian tercapai).
Penelitian non-eksperimen merupakan penelitian yang dalam proses penelitiannya tidak ada perlakuan. Penelitian non-eksperimen terbagi menjadi banyak jenis penelitian, akan tetapi yang paling sering dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, jenis penelitian survei, jenis penelitian korelasi, dan jenis penelitian komparasi. Jenis penelitian deskripsi adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan gejala, fenomena atau peristiwa. Jenis penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Jenis penelitian korelasi adalah penelitian yang menghubungkan satu/lebih variabel bebas dengan satu variabel terikat tanpa ada upaya untuk mempengaruhi. Dan jenis penelitian komparasi adalah penelitian yang membandingkan satu kelompok sampel dengan kelompok sampel lainnya berdasarkan variabel/ukuran tertentu.


C.    Mix Method
Desain penelitian metode campuran adalah suatu prosedur untuk menghimpun, analisis, dan “mencampur” penelitian kuantitatif dan kualitatif serta metode dalam suatu pembelajaran tunggal untuk mengerti suatu permasalahan penelitian (Creswell & Plano Clark, 2007). Penelitian metode campuran merupakan kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam semua tataran atau tahapan. Bukan sekedar kombinasi data kuantitatif dan kualitatif saja, melainkan sejak tahapan perencanaan dalam bentuk perumusan masalah, cara perumusan masalah kedua penelitian itu telah dikombinasikan. (Andrew & Halcomb (2009:3).
Ditambah dengan argument dari (creswell dan plano,2007), Penelitian metode campuran merupakan pendekatan penelitian yang mengkombinasikan dan mengasosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif. Penelitian ini melibatkan asumsi-asumsi filosofis, pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dan pencampuran (mixing) kedua pendekatan tersebut dalam satu penelitian. pendekatan ini lebih kompleks dari sekedar mengumpulkan dan menganalisis dua jenis data, ia juga melibatkan fungsi dari dua pendekatan penelitian tersebut secara kolektif sehingga kekuatan penelitian ini secara keseluruhan lebih besar ketimbang penelitian kualitatif dan kuantitatif.


Paradigma Penelitian
A.    Post-positivisme

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”.  Tokohnya adalah Karl  R.  Popper,  Thomas  Kuhn,  para  filsuf  mazhab  Frankfurt (Feyerabend,  Richard  Rotry).  Paham  ini  menentang  positivisme,  alasannya  tidak  mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata, ada sesuai hukum alam.  Tetapi  pada  sisi  lain,  Postpositivisme  berpendapat  bahwa manusia  tidak  mungkin  mendapatkan kebenaran  dari  realitas  apabila  peneliti  membuat  jarak  dengan  realitas  atau  tidak  terlibat  secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip  trianggulasi, yaitu  penggunaan  bermacam-macam  metode,  sumber  data, data, dan lain-lain.
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori.

ASUMSI DASAR POST-POSITIVISME
  1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori. 
  2. Falibilitas  Teori,  tidak  satupun  teori  yang  dapat  sepenuhnya  dijelaskan  dengan  bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
  3. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai. 
  4. Interaksi  antara  subjek  dan  objek  penelitian.  Hasil  penelitian  bukanlah  reportase  objektif, melainkan  hasil  interaksi  manusia  dan  semesta  yang  penuh  dengan  persoalan  dan  senantiasa berubah. 
  5.  Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. 
  6.  Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. 
  7.  Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-positivisme dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

B.     Kontruktivisme
Konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka sendiri tentang pengetahuan yang dipelajarinya. Slavin (1994:225) mengungkapkan bahwa konstruktivisme dalam sejarah pendidikan lahir dari gagasan-gagasan Piaget dan Vigotsky. Keduanya menekankan bahwa perkembangan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi baru. Menurut Anderson (dalam Slavin, 1994:48) dalam pandangan konstruktivisme individu dipandang mengkonstruksi pengetahuan secara berkesinambungan mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru. Berarti bahwa pengetahuan merupakan kostruksi atau bangunan manusia sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang mempelajari suatu pengetahuan berarti belajar mengkonstruksi pengetahuan, atau belajar adalah suatu proses aktif seseorang mengkonsumsi pengetahuan.

2.    Ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Good & Brophy (dalam Kauchack & Eggen, 1998:185) menyebutkan ciri pembelajaran konstruktivisme secara umum sebagai berikut.
  1. Siswa membangun sendiri pemahamannya
  2. Belajar yang baru bergantung pada pemahaman sebelumnya
  3. Belajar difasilitasi oleh interaksi sosial
  4. Belajar yang bermakna terjadi didalam tugas-tugas belajar mandiri
Alexander & Murphy (dalam Kauchack, 1998:9) mengajukan 5 pertanyaan umum tentang belajar dan mengajar yang sejalan dengan pendapat Good & Grophy, yaitu:
  1. Pengetahuan awal siswa mempengaruhi belajarnya
  2. Siswa perlu memikirkan strategi belajarnya
  3. Motivasi berpengaruh kuat pada belajar
  4. Perkembangan dan perbedaan individual mempengaruhi belajar
  5. Kontek sosial di dalam kelas mempengaruhi belajar
Kauchack & Eggen (1998:192-193) mengemukakan bahwa pembelajaran untuk memfasilitasi konstruksi pengetahuan memuat 4 aspek penting sebagai berikut.
  1. Pembelajaran berfokus pada penjelasan dan jawaban siswa atas masalah atau pertanyaan.
  2. Penjelasan dan jawaban datang dari siswa
  3. Penjelasan dan jawaban bersumber dari representasi konsep
  4. Guru membantu siswa mengkonstruk pengetahuan dengan mengarahkan interaksi sosial dan menyediakan representasi konsep.
Dengan demikian, esensi pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme adalah tidak terlepas dari belajar aktif dengan tujuan akhir yang bermuara pada pemecahan masalah, atau dapat dikatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme adalah pemecahan masalah; bukan hanya pemecahan masalah bagi siswa, tetapi juga memecahkan masalah guru.
3.     Implikasi Paradigma Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Hudoyo (1998:7) menjelaskan sebagai implikasi dari pandangan konstruktivistik dalam pembelajaran, ada beberapa hal yang terkait dengan lingkungan belajar yang perlu diupayakan, yakni:
  1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan;
  2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara;
  3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret dalam kehidupan sehari-hari;
  4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya;
  5. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;
  6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan iswa mau belajar.
Robert E. Yager (1991) mengemukakan tahap pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap invitasi, eksplorasi, pengajuan eksplanasi dan solusi, dan pelaksanaan tindakan.
  1. Invitasi diperlukan untuk mengidentifikasi konsepsi awal siswa sebelum pelaksanaan pembelajaran dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut: mengamati keingintahuan siswa, siswa menjawab pertanyaan, mempertimbangkan kemungkinan jawaban pertanyaan, mencatat hal-hal yang tidak diperkirakan, dan mengenali situasi yang diharapkan siswa.
  2. Eksplorasi adalah tahap pelaksanaan pembelajaran dengan melibatkan siswa secara aktif menggali informasi-informasi baru. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap eksplorasi adalah: mengajak siswa untuk fokus pada pembelajaran, mendiskusikan alternative alternatif kemungkinan, mencari informasi, melakukan percobaan dengan alat dan bahan yang ada, mengamati gejala-gejala khusus, merancang model, mengumpulkan dan mengolah data, menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah, memilih sumbersumber yang tepat, mendiskusikan solusi dengan yang lain, merancang dan melaksanakan percobaan, ikut serta dalam diskusi, mengenali resiko dan konsekwensi-konsekwensi yang timbul, menentukan parameter suatu penyelidikan, menganalisis data dan sebagainya.
  3. Pengajuan eksplanasi dan solusi merupakan tahap diskusi yang dilakukan di antara siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Kegiatan diskusi ini juga dapat berlangsung dengan guru yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan yang terjadi pada tahap pengajuan eksplanasi (penjelasan) dan solusi (penyelesaian) adalah: mengkomunikasikan informasi dan ide-ide, membangun dan menjelaskan model, membangun penjelasan baru, mereview dan mengupas penyelesaian, menggunakan evaluasi kolompok, memasang jawaban jawaban atau solusi-solusi, menentukan penutup yang sesuai, dan memadukan solusi dengan pengetahuan dan pengalaman.
  4. Taking action atau tahap pengambilan tindakan merupakan tahap akhir pembelajaran, pada tahap ini siswa merumuskan hasil eksplorasi dan diskusinya. Pada tahap ini juga diberikan evaluasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru, baik secara lisan maupun sacara tulisan. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap taking action adalah: membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, mentransfer pengetahuan dan keterampilan, berbagi informasi dan ide-ide, menjawab pertanyaan baru, dan mengembangkan hasil dan ide-ide.
Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas Edmund Husserl and pemahaman intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan and Wilhelm Dilthey (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan penganut konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.
C.    Advokasi/Partisipatoris
Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/ interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara memadai (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan, dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/partisipatori/transformatif dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif dan lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.
D.    Pragmatis


Aliran Pragmatisme tidak terikat pada sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut pragmatisme pada awalnya menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat mengakses kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode ilmiah tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada masalah penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami masalah itu. Oleh karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa  pragmatisme merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode gabungan (mixed-methods research). Meskipun demikian beberapa peneliti yang menggunakan metode gabungan, secara filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada paradigma transformatif paradigm (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini mengungkapkan bahwa metode gabungan dapat digunakan dalam berbagai paradigma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMPERKUAT ILMU SOSIAL MELALUI PENDEKATAN KUALITATIF

MEMPERKUAT ILMU SOSIAL MELALUI PENDEKATAN KUALITATIF Yoga Gandara 1 , Suwarma Al Muchtar ², 1 Mahasiswa Program Studi PKn SPS UPI...